Minggu, 30 Agustus 2009

Artikel penelitian

PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN SISTEM GANDA
PADA SMK DI KOTA KENDARI*)
Oleh : A n w a r **)
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan Dunia Usaha dan Industri (DUDI) terhadap pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG), tanggapan guru terhadap pembekalan siswa di SMK dan pelaksanaan PSG di DUDI, dan tanggapan siswa terhadap pembelajaran di SMK dan pelaksanaan PSG di DUDI. Penelitian dirancang dalam bentuk deskriptif kuantitatif dengan sampel masing-masing 82 DUDI, 64 orang Guru, dan 187 siswa. Data dikumpulkan melalui angket, wawancara, dan pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan PSG di DUDI telah berjalan cukup baik. Persiapan pihak sekolah terhadap keterampilan praktis pra PSG telah dilaksanakan melalui kerja sama antara sekolah dengan DUDI, sehingga apa yang diajarkan sudah relevan dengan kebutuhan DUDI, ini terbukti bahwa pelaksanaan PSG sudah berjalan cukup baik. Pernyataan DUDI dan guru tersebut mendapat mengakuan yang sama dari siswa peserta PSG.
Kata kunci: pendidikan sistem ganda, magang, link and match, dunia usaha dan industri, sekolah menengah kejuruan
*) Hasil Penelitian dibiayai oleh Universtas Terbuka Tahun 1999
**) Dosen FKIP Universitas Haluoleo Kendari/Mahasiswa Program Doktor PPs UPI Bandung
________________________________________
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Salah satu konsepsi pendidikan yang sedang aktual dewasa ini adalah sistem magang bagi siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Di Jerman sistem ini disebut dual sistem, di Australia disebut dengan apprentice system. Dalam lingkungan Departemen Pendidikan Nasional khususnya pada SMK sistem magang ini operasionalnya disebut dengan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) yang diadopsi dari istilah Jerman dual system. Secara teoritis, PSG ini merupakan suatu proses pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik antara program pendidikan pada sekolah dengan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung pada dunia kerja dan secara terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu.
Secara teknis, siswa SMK dalam jangka waktu tertentu dikirim ke dunia usaha dan industri (DUDI) untuk bekerja pada jenis profesi tertentu yang sesuai dengan bidang studinya. Dengan modal ini, maka siswa akan lebih familiar terhadap dunia kerja, sehingga setelah lulus akan lebih mudah beradaptasi karena berbekal keahlian profesi yang pernah didapatkan dari dunia kerja. Selain itu, lulusan SMK kelak lebih profesional menekuni profesinya di DUDI.
Hasil penelitian empiris Sunaryo (1996) menunjukkan bahwa tanggapan dunia industri dalam rangka program link and match pada indikator penyusunan program, penyusunan kurikulum, dan pelaksanaan pendidikan adalah cukup positif dan cenderung bersedia terlibat langsung. Namun, kesediaan dunia industri dalam melakukan evaluasi dan pemasaran lulusan cenderung kurang karena mereka menganggap tidak memiliki keahlian pada bidang ini, sedangkan pemasaran lulusan merupakan suatu masalah rumit karena terjadi ketidakseimbangan antara besarnya lulusan dengan daya tampung dunia industri untuk tenaga kerja.
Pelaksanaan PSG di Sulawesi Tenggara dimulai sejak tahun pelajaran 1995/1996 dan diikuti sebanyak 13 SMK Negeri yang ada. Pada tahun pelajaran 1997 program ini telah berhasil mengajak serta sebanyak 350 perusahaan dan berhasil melayani siswa sebanyak 2.800 orang (Rachman, 1997). Di Kota Kendari dari 4 SMK Negeri yang ada, 3 diantaranya yang telah melaksanakan PSG. Ketiga SMK tersebut meliputi SMK Kelompok Bisnis dan Manajemen, SMK Kelompok Teknologi dan Industri, dan SMK Kelompok Pariwisata, ketiganya telah berhasil menjalin mitra kerja dengan DUDI sebanyak 125 buah dan melibatkan siswa sebanyak 554 orang. Bahkan, untuk tahun pelajaran 1997/1998 sebagai tindak lanjut dari kerja sama sebelumnya, keempat SMK yang ada di Kota Kendari telah melakukan kerja sama dengan Kadinda Tk. I Sulawesi Tenggara untuk Pengembangan Unit Produksi.
Program PSG ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pembangunan di Sulawesi Tenggara yang akhir-akhir ini mengalami tekanan akibat krisis moneter yang berkepanjangan sehingga memerlukan tenaga-tenaga terampil yang mampu menciptakan peluang kerja di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami krisis. Fenomena ini tentu menarik untuk diantisipasi, dan salah satu langkah antisipatif adalah melalui program PSG. Melalui program ini diharapkan out put SMK mampu memenuhi kebutuhan pasar kerja khususnya tenaga kerja menengah untuk DUDI atau menciptakan lapangan kerja baru.
Meskipun demikian, pelaksanaan PSG tidak luput dari masalah, seperti diungkapkan oleh Ketua Kadinda TK. I Sultra bahwa ada 3 kendala utama yang didapati oleh DUDI di lapangan, yaitu (1) ketidaksesuaian antara latar belakang disiplin ilmu siswa dengan dunia usaha tujuan bekerja, (2) adanya proses penyesuaian diri oleh siswa pada tahap awal, dan (3) monitoring dari sekolah masih relatif kurang (Surunuddin, 1997). Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, maka peran serta dunia usaha dalam program PSG sangat diharapkan melalui aspek: (1) perencanaan program, (2) penyusunan kurikulum, (3) penyelenggaraan pendidikan, (4) evaluasi program dan hasil, serta (5) pemasaran lulusan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993).
Selama ini belum ada penilaian secara empiris tentang tanggapan atau keterlibatan DUDI, guru, dan siswa dalam rangka pelaksanaan PSG di Kota Kendari. Pada kenyataannya SMK memiliki latar yang berbeda dan sebagian besar melakukan PSG pada perusahaan yang berbeda, tetapi mereka melakukan program yang sejenis sehingga DUDI memberikan penilaian yang sama. Permasalahan tersebut perlu dikaji secara empiris sehingga dapat memberikan sumbangan dalam rangka peningkatan SDM.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dari hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) tanggapan DUDI terhadap pelaksanaan PSG, meliputi keterlibatan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program, evaluasi program, dan pemasaran lulusan, (2) tanggapan guru terhadap pelaksanaan pembekalan siswa di SMK dan pelaksanaan PSG di DUDI, dan (3) tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran di SMK, dan pelaksanaan pembelajaran di DUDI.
2. Tinjauan Pustaka
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu jenjang pendidikan menengah yang mempunyai misi khusus. SMK bertujuan mengutamakan penyiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap profesional (Peraturan Pemerintan No.29/1990) sebagai tenaga kerja tingkat menengah pada DUDI.
Implementasi dari SMK yang berorientasi pada dunia kerja, didasarkan pada kebijakan link and match (keterkaitan dan kesepadanan). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995) merumuskan bahwa secara filosofis link and match merupakan cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian integral dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan harus dirancang dan dilaksanakan dalam kaitan yang harmonis dan selaras dengan aspirasi dan kebutuhan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sehingga hasilnya akan benar-benar sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat. Kebutuhan masyarakat dalam pembangunan adalah sangat luas, bersifat multidimensional dan multisektoral mulai dari kebutuhan peserta didik, kebutuhan keluarga, kebutuhan untuk pembinaan warga negara yang baik, dan kebutuhan dunia kerja (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993).
Secara harfiah link berarti ada pertautan, keterkaitan, atau hubungan interaktif, dan match berarti cocok, sesuai, serasi, atau sepadan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995). Dalam kaitan ini link and match diartikan sebagai proses pendidikan yang seharusnya sesuai dan terkait langsung dengan kebutuhan pembangunan, sehingga hasilnya sesuai dengan tuntutan kebutuhan tersebut, baik jumlah, mutu, jenis, maupun waktunya.
Tujuan link and match adalah untuk mendekatkan antara supply dan demand mutu SDM, terutama yang berhubungan dengan kualitas ketenagakerjaan, dimana dunia pendidikan sebagai penyedia SDM dan dunia kerja serta masyarakat sebagai pihak yang membutuhkan. Link and match pada dasarnya menyangkut upaya peningkatan sistem pendidikan agar benar-benar berfungsi sebagai wahana atau instrumen bagi pembangunan dan perubahan sosial, sekaligus bermanfaat sebagai investasi untuk pembangunan masa depan.
Secara konseptual dimensi link and match dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal menyangkut tiga aspek: (1) secara vertikal, dimana program pembangunan pendidikan dan pengembangan kebudayaan harus benar-benar terpadu dan terkait dengan implementasinya di lapangan, (2) secara horizontal yaitu upaya meningkatkan keterkaitan secara terpadu dan selaras dengan program pembangunan pendidikan dan pembangunan kebudayaan pada berbagai unit kerja di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan (3) secara spesial, yaitu upaya untuk meningkatkan keterkaitan secara terpadu dan selaras antara program dengan pelaksanaan pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan.
Dimensi eksternal terkait dengan peran dan fungsi pendidikan sebagai instrumen pembangunan nasional khususnya perubahan sosial dalam konteks global. Dimensi ini dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan agar lebih sesuai dengan tuntutan seluruh bidang pembangunan nasional (Pakpahan, 1994).
Untuk merealisasikan kebijakan link and match tersebut, maka dicanangkanlah program Pendidikan Sistem Ganda (PSG). PSG merupakan perkembangan dari magang yaitu belajar sambil bekerja atau bekerja sambil belajar langsung dari sumber belajar dengan aspek meniru sebagai unsur utamanya dan hasil belajar/bekerja itu merupakan ukuran keberhasilannya (Raharjo, 1989).
Kegiatan belajar dalam kelompok produktif, dapat digolongkan ke dalam tiga macam, yaitu (1) orang yang memiliki keahlian dalam peningkatan kualitas produksi, pengolahan bahan baku, dan penggunaan alat-alat produksi, (2) orang yang belum memiliki kemampuan dalam peningkatan kualitas produksi, belajar dari orang pertama melalui magang, dan (3) orang yang telah memiliki kemampuan dari kelompok pertama melalui magang, tetapi masih dalam tingkatan lebih rendah, mereka ini bekerja untuk meningkatkan produksi dengan diawasi oleh pihak pertama. Dalam proses produksi, ketiga golongan tersebut saling berhubungan dan saling membutuhkan (Sudjana, 2000). Komponen-komponen magang adalah: tujuan, program, sumber belajar, warga belajar, sarana dan prasarana, pengorganisasian, dan lingkungan (Raharjo, 1989).
Sistem ganda (dual sistem) dalam hal ini merupakan model penyelenggaraan pendidikan kejuruan dimana perencanaan dan pelaksanaan pendidikan diwujudkan melalui kemitraan antara dunia kerja dengan sekolah, dan penyelenggaraan pendidikan berlangsung sebagian di sekolah dan sebagian lagi di dunia usaha atau industri (Pakpaham, 1995; Schippers dan Patriana, 1994).
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa PSG mempunyai dua tempat kegiatan pembelajaran dilaksanakan berbasis sekolah (school based learning) dan berbasis kerja (work based learning). Siswa berstatus sebagai pemagang di industri dan sebagai siswa di SMK. Bukit (1997) mengartikan PSG sebagai sistem pendidikan kejuruan yang melaksanakan pembelajaran di sekolah dan industri, yang mana pembelajaran di sekolah dan pelatihan di industri merupakan dua komponen yang berasal dari program yang tidak terpisahkan.
Peran dunia usaha/industri menurut Surunuddin (1997) adalah mengoptimalkan SDM yang berkualitas melalui PSG. Di sekolah, mereka diberi teori dan sebagian diajarkan melalui magang di dunia kerja sehingga lebih mengenal lapangan. Mereka bekerja praktik di perusahaan selama jangka waktu tertentu sehingga dalam jangka waktu 3 tahun akan menjadi tenaga siap pakai dengan pola pikir yang profesional. Secara harfiah, PSG diadopsi dari kata bahasa Jerman yaitu link and match yang berarti cara pandang bahwa pendidikan merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) membuat batasan PSG sebagai suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu.
Tujuan PSG adalah: (1) menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas, (2) memperkokoh link and match antara SMK dan dunia kerja, (3) meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pendidikan dan pelatihan tenaga kerja berkualitas, dan (4) memberi pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja sebagai bagian dari proses pendidikan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995). Program PSG akan dapat terwujud dengan baik jika terdapat komponen-komponen: (1) institusi pasangan, (2) program pendidikan bersama, (3) kelembagaan kerja sama, (4) nilai tambah dan insentif, serta (5) jaminan keberlangsungan.
Program PSG disusun berdasarkan Kurikulum SMK 1994 yang mengacu pada profil kemampuan dan Garis-garis Besar Program Pembelajaran. Salah satu upaya untuk menyusun program PSG tersebut dilakukan melalui pemetaan profil kemampuan bahan kajian komponen pendidikan yang meliputi komponen pendidikan: adaptif, teori kejuruan, praktik dasar profesi, dan praktik keahlian profesi (Wahyu, 1996).
Pelaksanaan pembelajaran komponen pendidikan adaptif, dan teori kejuruan menjadi tanggung jawab sekolah. Komponen pendidikan praktik dasar profesi dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara sekolah dengan dunia usaha/industri pasangannya, sedangkan komponen pendidikan praktik keahlian profesi menjadi tanggung jawab institusi pasangan masing-masing sekolah dalam pelaksanaan PSG.
Kebijakan tersebut muncul karena disadari bahwa penguasaan keahlian profesional yang sebenarnya hanya dapat dicapai melalui kerja nyata di tempat kerja yang sebenarnya dan bukan di sekolah. Sekolah mampu memberikan kemampuan dasar kejuruan yang kuat, sehingga dengan bekal kemampuan dasar kejuruan yang kuat dapat membantu siswa dalam mendalami pelatihan-pelatihan kerja yang lebih kompleks dan spesifik di dunia kerja. Dengan demikian, kemitraan SMK dengan dunia usaha dan industri bukan lagi merupakan hal penting, tetapi merupakan keharusan (Djojonegoro, 1997).
Suatu hal yang perlu dicermati oleh sekolah dan dunia usaha yaitu adanya perbedaan sistem nilai yang berlaku pada kedua lembaga tersebut. Di sekolah umumnya hasil kerja dinilai dengan angka 0-10 atau 10-100, resiko gagal masih ditolerir, toleransi penggunaan waktu agak longgar, kegagalan dan keterlambatan tidak selalu diartikan sebagai kerugian, semangat dan motivasi siswa tergantung kecakapan guru, sulit membentuk etos kerja karena lingkungan sekolah santai, lamban mengikuti kemajuan Ipteks, lingkungan teori, dan praktik yang dilakukan masih merupakan simulasi. Di lingkungan dunia usaha/industri hasil pekerjaan diukur dengan diterima atau ditolak, resiko kegagalan bisa fatal berarti rugi uang dan reputasi rusak, penggunaan waktu yang ketat, kegagalan dan keterlambatan dianggap/sebagai kerugian, lingkungan kerja memberi kesempatan setiap orang untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas kerjanya, kondisi mendorong membentuk etos kerja, lebih cepat mengikuti kemajuan Ipteks, lingkungan kerja dan praktik yang dilakukan berorientasi pasar (Djojonegoro, 1997).
Mengingat adanya perbedaan yang mendasar antara sistem nilai yang berlaku di sekolah dan dunia kerja, maka sekolah hendaknya benar-benar mempersiapkan siswanya sebelum masuk dunia kerja. Persiapan tersebut meliputi pengetahun kerja, keterampilan kerja, sikap/budaya kerja, dan harus mencari informasi tentang kebutuhan akan industri pasangannya tentang kemampuan dasar kerja yang harus dikuasai siswa sebelum diterjunkan dalam praktik di dunia kerja.
Untuk menjembatani komunikasi antara kedua lembaga tersebut, perlu diaktifkan lembaga perantara, seperti: (1) Majelis Pendidikan Kejuruan Tingkat Nasional (MPKN), (2) Majelis Pendidikan Kejuruan Tingkat Propinsi (MPKP), dan (3) Majelis Sekolah Tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (MS) (Sunaryo, 1996).
Menurut Slameto (1993) dalam rangka menyukseskan pembangunan perlu adanya kerja sama yang erat dan permanen antara dunia pendidikan kejuruan dan dunia usaha pada umumnya dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang cakap dan terampil bagi keperluan pembangunan di berbagai bidang tanpa merugikan dunia usaha. Bahkan dengan kerja sama ini diharapkan memiliki nilai tambah segi tiga antara dunia usaha, sekolah dan peserta didik itu sendiri.
Nilai tambah bagi dunia usaha adalah, (1) dapat mengetahui secara tepat kualitas peserta didik yang belajar dan bekerja di perusahaan, (2) pada batas-batas tertentu selama masa pendidikan peserta didik adalah tenaga kerja yang dapat memberi keuntungan, (3) selama proses pendidikan melalui bekerja di industri, peserta didik lebih mudah diatur dalam disiplin, seperti kepatuhan terhadap aturan perusahaan, (4) dunia usaha dapat memberi tugas kepada peserta didik untuk mencari ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang relevan, dan (5) memberi kepuasan bagi dunia usaha karena ikut serta menentukan hari depan bangsa melalui pendidikan sistem ganda.
Nilai tambah bagi sekolah adalah lebih terjaminnya pencapaian: (1) tujuan pendidikan untuk memberi keahlian profesional bagi peserta didik, (2) tanggungan biaya pendidikan menjadi ringan, (3) terdapat kesesuaian antara program pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja, dan (4) memberi kepuasan bagi penyelenggara pendidikan.
Nilai tambah bagi peserta didik adalah: (1) hasil belajar akan lebih bermakna, karena setelah tamat mereka memiliki keahlian sebagai bekal untuk mengembangkan diri secara berkelanjutan, (2) waktu untuk mencapai keahlian profesional menjadi singkat, (3) keahlian profesional yang diperoleh melalui PSG dapat mengangkat harga dan percaya diri tamatan, yang selanjutnya dapat mendorong mereka untuk meningkatkan keahlian profesionalnya pada tingkat yang lebih tinggi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994).
Secara empiris hasil penelitian Wahyu (1996) menunjukkan bahwa (1) kondisi pengajaran di SMK dalam rangka PSG masih kurang memadai, disebabkan karena kurangnya sumber belajar, fasilitas praktik, dan ruang belajar, (2) metode pengajaran yang digunakan oleh guru termasuk dalam kategori baik, dan (3) hasil pengajaran yang dicapai juga termasuk kategori baik.
3. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif kuantitatif karena berupaya memberikan atau mendeskripsikan fenomena sosial yang ada di lapangan khususnya yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan PSG. Pelaksanaan penelitian berlangsung pada bulan Juni sampai dengan Agustus 1999.
Populasi penelitian ini adalah seluruh DUDI yang menjadi mitra kerja SMK dalam rangka PSG di Kota Kendari, seluruh guru kejuruan dan siswa SMK yang sedang PSG. Penentuan sampel dilakukan secara purposive sampling. Pada tahap awal ditentukan tiga buah sekolah pada kelompok yang berbeda. Selanjutnya, sampel responden dipilih masing-masing DUDI sebanyak 82 buah/responden yang sedang ditempati PSG, Guru Kejuruan sebanyak 64 orang, dan 187 siswa yang sedang mengikuti PSG.
Data dikumpulkan melalui teknik, (1) angket yang diisi langsung oleh responden, (2) wawancara tidak terstruktur, dan (3) pengamatan terhadap pelaksanaan PSG baik di sekolah maupun di dunia kerja. Kedua teknik disebutkan terakhir merupakan pendukung yang hasilnya digunakan dalam interpretasi hasil penelitian.
Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk mengetahui tanggapan responden (DUDI, Guru, dan siswa), sedangkan untuk data hasil wawancara dan pengamatan dianalisis secara kualitatif.
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Tanggapan DUDI Terhadap Pelaksanaan PSG
Tanggapan DUDI tehadap pelaksanaan PSG ini diajukan tujuh indikator, meliputi (1) kehadiran siswa di DUDI (67,07% baik), (2) keterampilan dasar siswa (93,90% baik), (3) kerajinan siswa bekerja/belajar (67,07% baik), (4) proses adaptasi siswa (67,07% baik), (5) jangka waktu pelaksanaan PSG (78,05% baik), (6) kehadiran guru pembimbing (71,95% baik), dan (7) koordinasi antara DUDI dan sekolah (71,95% baik). Secara keseluruhan, dari tujuh indikator tersebut menunjukkan bahwa rata-rata (73,87%) menyatakan sudah memuaskan atau berada pada kategori cukup baik.
Beberapa indikator keterlibatan DUDI tehadap pelaksanaan PSG ini, meliputi (1) proses identifikasi rencana pelaksanaan PSG, (2) pembekalan siswa, (3) sosialisasi kegiatan kepada sekolah, (4) perencanaan yang sistematis tentang program kegiatan siswa PSG di lapangan, (5) penerapan aturan khusus kepada siswa di tempat kerja, (6) penerimaan siswa apa adanya untuk siap dididik di DUDI, (7) penerapan sangsi pemecatan kepada siswa yang tidak mentaati peraturan di perusahaan tempat kerja, (8) pimpinan perusahaan mengadakan pertemuan khusus dengan siswa, (9) dunia usaha menanggung konsumsi siswa, (10) memberikan upah kepada siswa, dan (11) prakarsa dalam memberi saran perbaikan kurikulum pada sekolah.
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa 49,46% DUDI telah melakukan hal positif, 92,68% menyatakan tidak pernah menolak siswa calon peserta PSG, dan tidak ada yang pernah menerapkan sangsi pemberhentian terhadap siswa yang melakukan PSG.
Upaya pimpinan perusahaan mengadakan pertemuan khusus dengan siswa peserta PSG, 60,98% menyatakan pernah melakukan (6,10% melakukan secara individual dan 54,88% pertemuan kelompok), 32,93% DUDI telah menanggung konsumsi siswa peserta PSG, 28,05% telah memberikan upah kepada siswa (6,10% upah tetap tiap bulan, 10,98% upah tetap tiap hari/minggu, dan 10,98% upah secara insidental).
Data tersebut membuktikan bahwa peran DUDI semakin tinggi dalam upaya menyukseskan program PSG sekaligus pengembangan tenaga terampil atau SDM yang berkualitas. Selanjutnya, mereka mengajukan saran sehubungan dengan pelaksanaan PSG, yaitu: (1) perlu adanya pertemuan antara Kepala Sekolah dengan Pimpinan Perusahaan, (2) jangka waktu pelaksanaan PSG perlu diperpanjang, (3) Guru pembimbing dan karyawan harus menerapkan kedisiplinan yang tinggi, (4) keterampilan dasar harus ditingkatkan sebelum PSG, (5) perlu sosialisasi lebih intensif baik oleh sekolah maupun DUDI sebelum pelaksanaan PSG, dan (6) frekuensi kehadiran guru di lapangan perlu ditingkatkan.
Data itu juga menunjukkan bahwa 100% DUDI menyatakan telah melakukan penilaian kepada peserta PSG dengan bentuk pengamatan, secara lisan, dan secara tertulis. Pelaporan DUDI secara tertulis kepada Kepala Sekolah dalam proses kegiatan PSG 15,85% menyatakan melakukan secara terjadwal, 67,07% menyatakan secara insidental, dan 17.07% menyatakan tidak pernah memberikan laporan. Untuk penilaian akhir program 71,95% menyatakan telah memberikan penilaian dan 28,05% menyatakan tidak memberikan laporan penilaian akhir. Pada akhir program PSG, 39,02% pihak DUDI menyatakan telah memberikan piagam penghargaan kepada siswa.
Ada empat indikator yang diajukan dalam rangka keterlibatan dunia usaha/industri dalam proses pemasaran lulusan. Keempat indikator dimaksud yaitu: (1) rekruitmen siswa yang bekerja pada DUDI pasca PSG (32,93%), (2) pemberian informasi kepada siswa PSG tentang formasi di DUDI lain (67,07%), (3) informasi kepada lembaga lain tentang ketersediaan tenaga kerja lulusan PSG dari lembaganya (28,05%), (4) dan bantuan modal/keterampilan kepada lulusannya untuk mendiri (17,07%).
4.4.2 Tanggapan Guru Terhadap Pelaksanaan Pembekalan Siswa di SMK dan Pelaksanaan PSG di DUDI
Pendapat guru menunjukkan bahwa pemberian pembekalan khusus kepada siswa telah dilaksanakan melalui kerja sama antara sekolah dengan DUDI; Sosialisasi keterampilan yang ada di dunia usaha kepada siswa telah dilaksanakan, 72,31% responden telah melaksanakan praktik micro teaching sebelum pelaksanaan PSG, 86,15% telah melaksanakan identifikasi kebutuhan DUDI sebelum PSG, dan 72,31% menyatakan telah mengajarkan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan yang ada di lapangan.
Beberapa saran yang diajukan oleh guru sehubungan dengan pelaksanaan PSG yaitu (1) pembekalan perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan DUDI, (2) pemilihan DUDI yang memperhatikan kesejahteraan siswa, (3) penambahan jangka waktu pelaksanaan PSG di DUDI, (4) pelibatan semua guru kejuruan dalam proses penempatan siswa di DUDI, (5) pemindahan waktu pelaksanaan PSG di Kelas III sehingga siswa cukup bekal keterampilan dasar dan sekaligus mempermudah siswa secara langsung terjun ke dunia kerja begitu tamat, (6) penempatan sebaiknya tidak di instansi pemerintah, (7) motif dan model baju siswa PSG perlu diperhatikan supaya menarik, dan (8) penempatan siswa disesuaikan dengan jurusan dan kebutuhan DUDI.
Menurut pandangan guru bahwa pelaksanaan PSG di DUDI sudah cukup baik terbukti 76,59% responden menyatakan pelaksanaannya sudah memuaskan. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menyatakan PSG belum berhasil dan tidak membawa manfaat, sebagaimana tanggapan positif DUDI sebelumnya.
4.4.3 Tanggapan Siswa Terhadap Pelaksanaan Pembelajaran di SMK dan Pelaksanaan PSG di DUDI
Secara keseluruhan keempat indikator yang diajukan menunjukkan bahwa 69,79% siswa menyatakan pelaksanaan pembelajaran di sekolah sudah memuaskan. Meskipun demikian, para siswa dengan penuh antusias menyatakan agar lebih meningkatkan kualitas program PSG, dengan mengajukan saran perbaikan: (1) Kurikulum/materi disusun bersama antara sekolah dengan DUDI, (2) penambahan peralatan/media pembelajaran, (3) penambahan frekuensi pemberian latihan kepada siswa, (4) penambahan frekuensi jam praktik, dan (5) penempatan siswa disesuaikan dengan jurusan atau kebutuhan DUDI.
Indikator kesiapan siswa seperti kesiapan fisik/mental, penguasaan keterampilan, dan pembekalan pihak sekolah, secara keseluruhan hasilnya lebih dari 90%. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan siswa dalam menghadapi program PSG cukup mantap. Demikian pula, pengakuan siswa bahwa pelatihan yang diselenggarakan pra PSG oleh sekolah bekerja sama dengan DUDI sangat bermanfaat karena rangkaian kegiatan/materi pelatihan terkait langsung dengan aktivitas yang ada di DUDI.
Tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran di DUDI, secara keseluruhan dari enam indikator yang diajukan menunjukkan bahwa 21,48% menyatakan pelayanannya sangat memuaskan, 68,18% menyatakan memuaskan dan sisanya 10,34% tidak memuaskan. Data tersebut didukung oleh pengakuan siswa bahwa 73,26% menyatakan mudah menguasai keterampilan yang ada dan hanya 26,74% menyatakan mengalami kesulitan.
Selanjutnya siswa mengajukan saran sehubungan dengan pelaksanaan PSG ini yaitu: (1) peningkatan bimbingan dari pihak DUDI, (2) penempatan disesuaikan dengan jurusan, (3) pelaksanaan PSG diperpanjang waktunya, dan (4) Guru Pembimbing meningkatkan frekuensi kehadirannya di DUDI.
Pernyataan tersebut merupakan suatu fakta bahwa dari tiga subsampel sependapat bahwa pelaksanaan PSG sudah berjalan cukup baik. Meskipun demikian, masih terdapat kelemahan yang memerlukan perhatian dari tiga komponen yang terlibat. Pembenahan dimaksud adalah kurikulum harus lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan DUDI serta harus didukung oleh perangkat media pendidikan/pembelajaran yang dapat mempercepat penguasaan keterampilan siswa, demikian pula perhatian lebih serius dari pihak guru pembimbing dan karyawan setempat pada saat siswa berada di lapangan.
4.2 Pembahasan
Pelaksanaan PSG menurut pespektif DUDI sudah cukup baik, penandanya yaitu 18,99% responden (DUDI) menyatakan sangat memuaskan, 73,87% menyatakan memuaskan. Pernyataan tersebut didukung oleh fakta di lapangan bahwa untuk Kota Kendari Tahun Pelajaran 1997 ketiga SMK yang telah melaksanakan PSG masing-masing: (1) SMK Negeri 1 (Kelompok Bisnis dan Manajemen), berhasil menjalin mitra usaha sebanyak 47 buah perusahaan, melibatkan sebanyak 227 orang siswa dan berhasil memasarkan lulusannya sebanyak 40 orang, (2) SMK Negeri 2 (Kelompok Teknologi dan Industri), berhasil menjalin mitra usaha sebanyak 29 buah perusahaan, melibatkan sebanyak 224 orang siswa, dan berhasil memasarkan lulusannya sebanyak 30 orang, dan (3) SMK Negeri 3 (Kelompok Pariwisata), berhasil menjalin mitra usaha sebanyak 49 buah perusahaan dan melibatkan sebanyak 103 orang siswa, dan berhasil memasarkan lulusannya sebanyak 81 orang. Kenyataan tersebut menunjukkan suatu awal yang baik dari pelaksanaan PSG. Jika lebih dicermati tentang kekurangan dan kelebihan terhadap pelaksanaannya selama ini, maka prestasi tersebut akan dapat ditingkatkan.
Keterlibatan DUDI dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program PSG menunjukkan bahwa 49,46% menyatakan telah melakukannya. Meskipun mereka menyadari bahwa belum melaksanakan bimbingan secara maksimal, tetapi tetap mengakui bahwa pelaksanaan PSG merupakan suatu hal yang positif baik bagi DUDI maupun bagi siswa dan sekolah.
Pelasanaan PSG ini dapat berjalan karena adanya kesadaran dan manfaat yang diperoleh dari ketiga komponen utama (DUDI, guru, dan siswa) yang terlibat di dalamnya. Bagi DUDI dapat memperoleh tenaga kerja yang mudah diatur karena mereka sebagai tenaga kerja baru umumnya taat pada aturan dan tekun bekerja, bagi sekolah tanggungan biaya menjadi ringan karena selama PSG biaya rutin sekolah dapat ditekan sebab proses pembelajaran tidak belangsung di sekolah, bagi siswa hasil belajar akan lebih bermakna dan waktu untuk mencapai keahlian profesional menjadi singkat dan relatif murah.
Tanggapan positif dunia usaha tersebut diperkuat dengan pernyataan bahwa pada umumnya (92,68%) mereka tidak pernah menolak calon siswa PSG. Demikian pula penerapan sangsi pemberhentian siswa yang sedang melakukan PSG tidak pernah terjadi. Hal ini merupakan salah satu komitmen mereka dalam mendidik calon tenaga kerja cukup tinggi yaitu dengan menempatkan diri sebagai pendidikan atau pelatih.
Kesungguhan pihak perusahaan dalam membimbing siswa, juga terlihat dari adanya upaya pimpinan DUDI mengadakan pertemuan khusus dengan siswa peserta PSG (baik secara individual maupun kelompok) untuk mengetahui aspirasi mereka, dalam hal ini terjadi proses bimbingan. Demikian pula keterlibatan mereka menanggung konsumsi siswa peserta PSG, bahkan di antara mereka (28,05%) telah memberi upah (6,10% memberi upah tetap tiap bulan, 10,98% memberi upah tetap tiap hari/minggu, dan 10,98% memberi upah secara insidental). Dengan demikian, kehadiran siswa memiliki dampak positif bagi DUDI, demikian pula sebaliknya para siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga mendapatkan uang.
Dalam penelitian ini terjadi efisiensi eksternal dan internal, karena dalam waktu singkat melalui proses belajar meniru atau mencontoh dengan memanfaatkan segenap sarana dan prasarana secara maksimal, siswa yang melakukan PSG (magang) dapat menguasai keterampilan. Dalam hal tanggapan DUDI pada indikator penyusunan program, dan pelaksanaan pendidikan cukup positif dan cenderung bersedia terlibat langsung. Kesedian DUDI dalam hal ini, terkait langsung dengan upaya memelihara dan meningkatkan mutu produksinya, karena disadari bahwa siswa calon PSG akan menjadi tenaga kerja mereka yang dapat berpengaruh terhadap kualitas produksi. Meskipun demikian disadari bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki untuk lebih memaksimalkan program ini khususnya koordinasi antara pihak sekolah dan DUDI, termasuk peningkatan bekal keterampilan dasar siswa pra PSG.
Pihak DUDI telah ikut serta melakukan penilaian kepada peserta PSG, bahkan pada akhir program 39,02% lembaga menyatakan telah memberikan piagam penghargaan kepada siswa peserta PSG. Demikian pula, dalam pemasaran lulusan 36,28% di antara mereka telah melakukannya, baik melalui perekrutan secara langsung atau pemberian informasi kepada siswa tentang adanya formasi ke instansi lain atau pemberian infomasi kepada instansi lain tentang ketersediaan tenaga dari alumni PSG bimbingannya.
Relatif rendahnya partisipasi DUDI dalam rangka pemasaran outputnya disebabkan oleh terbatasnya kemampuan menyerap tenaga kerja, kurangnya minat siswa untuk bekerja sebagai wirausahawan, terjadinya ketidakseimbangan antara besarnya lulusan dengan daya tampung DUDI untuk tenaga kerja, dan kurangnya penguasaan keterampilan oleh siswa, akhirnya mereka tidak dapat bekerja di lembaga itu dan belum siap bekerja di luar pada pekerjaan sejenis.
Kesiapan sekolah dalam pembekalan siswa terhadap keterampilan praktis sebelum PSG menunjukkan bahwa para guru/sekolah telah dilaksanakan melalui kerja sama antara sekolah dengan DUDI, demikian pula sosialisasi keterampilan yang ada di lapangan kepada siswa dan identifikasi kebutuhan sebelum program PSG berjalan, sehingga apa yang diajarkan menurut guru sudah relevan dengan kebutuhan lapangan. Meskipun demikian, terdapat jurusan di SMK yang tidak sesuai dengan kebutuhan DUDI di daerah sehingga menyulitkan bagi siswa. Kenyataan ini terjadi karena kurang mantapnya proses identifikasi kebutuhan lingkungan dan masyarakat dalam rangka pembukaan program studi tersebut.
Beberapa saran yang diajukan oleh guru perlu dicermati seperti pembekalan perlu ditingkatkan, penambahan jangka waktu pelaksaan PSG, dan penempatan siswa tidak di instansi pemerintah dengan harapan siswa benar-benar dipersiapkan untuk menjadi wirausahawan baru, sehingga setelah tamat tidak lagi mengharap untuk menjadi pegawai negeri. Tanggapan guru terhadap pelaksanaan PSG di DUDI cukup baik, terbukti semakin meningkatnya motivasi siswa mengikuti program ini dan semakin meningkatnya minat tamatan SLTP memasuki SMK.
Meskipun demikian, pelaksanaan PSG tidak luput dari masalah khususnya setelah siswa terjun langsung ke dunia kerja. Secara umum, permasalahan dimaksud lahir karena masih kurangnya pemahaman antara kedua belah pihak terhadap hakikat dari pelaksanaan PSG ini atau kurang menyadari fungsinya sebagai komponen dalam sistem ini. Oleh karena itu, kedua belah pihak (sekolah dan dunia usaha) masih harus berusaha mencari pola yang lebih baik untuk dijadikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi selama ini.
Sistem pembagian kerja di antara komponen yang ada pada kenyataannya telah terealisasi dalam program PSG, karena nampak adanya saling pengakuan dan pemahaman kedua belah pihak antara sekolah dan DUDI sehingga dapat mempermudah proses adaptasi siswa terhadap keterampilan yang ada di lapangan.
Jika PSG dipandang sebagai suatu sistem dan semua komponen telah menyadari fungsinya masing-masing untuk dapat memaksimalkan fungsi sistem, maka akan terciptanya suatu bentuk kerja sama yang permanen antara DUDI dengan sekolah setelah mereka mendapatkan benang merah yang dapat mengikatkan antara keduanya dengan kesadaran saling membutuhkan. Akhirnya, melalui kerja sama ini dapat membuahkan output yang optimal yaitu terciptanya SDM yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam pembangunan.
4. Simpulan dan Saran
4.1 Simpulan
1. Pelaksanaan PSG menurut dunia usaha dan industri telah cukup baik, mereka telah terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program, serta telah ikut dalam proses evaluasi dan pemasaran lulusan. Oleh karena itu, DUDI menyambut positif kelangsungan program ini.
2. Menurut pihak sekolah, pembekalan siswa terhadap keterampilan praktis sebelum PSG telah dilaksanakan melalui kerja sama antara sekolah dengan dunia usaha dan industri, demikian pula identifikasi dan sosialisasi keterampilan yang dibutuhkan kepada siswa sebelum program PSG berjalan, sehingga apa yang diajarkan sudah relevan dengan kebutuhan DUDI, dan pelaksanaannya sudah berjalan cukup baik.
3. Bagi siswa peserta PSG, pelaksanaan pembelajaran di sekolah selama ini sudah cukup baik, meskipun mereka mengakui perlunya pembenahan kurikulum melalui koordinasi antara sekolah dengan DUDI, penambahan jam praktik, demikian pula pengakuan siswa bahwa pelatihan yang dilakukan pra PSG telah ikut membantu percepatan proses adaptasi terhadap kegiatan pembelajaran dan bekerja di dunia usaha dan industri.
4.2 Saran
Untuk lebih mengoptimalkan program PSG maka (1) perlu ditingkatkan koordinasi lebih intensif antara kedua belah pihak khususnya dalam mempertemukan kebutuhan pihak DUDI dengan kemampuan pihak sekolah, (2) perlu ditingkatkan frekuensi kunjungan lapangan bagi siswa kelas awal, sehingga mereka dapat dengan mudah beradaptasi dan termotivasi untuk menguasai keterampilan sesuai dengan kebutuhan lapangan, dan (3) untuk memupuk semangat kewirausahaan siswa, maka pelaksanaan PSG sebaiknya terbatas pada DUDI.
________________________________________
Pustaka Acuan
Bukit, Masriani. 1997. Implementasi Pendidikan Sistem Ganda Sebagai Pembaruan Kurikulum. Bandung: Disertasi PPS IKIP Bandung tidak diterbitkan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Link and Match. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Konsep Sistem Ganda pada Pendidikan Menengah Kejuruan di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Pendidikan Sistem Ganda Strategi Operasional Link and Match pada Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djojonegoro, Wardiman. 1997. Sambutan Menteri Pendidiukan dan Kebudayaan pada Pembukaan Gebyar SMK ke-2. Kendari 13 April 1997.
Pakpaham, Jorlin. 1994. "Sistem Ganda pada Sekolah Menengah Kejuruan: Implementasi Link and Match dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Teknologi dan Kejuruan". Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Forum Komunikasi FPTK se Indonesia di Surabaya, 28 November 1994.
Pakpaham, Jorlin. 1995. Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Sistem Ganda pada Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Ditdikmenjur.
Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1990. Tentang Pendidikan Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rachman, J.A. 1997. Laporan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Tenggara pada Pembukaan Gebyar SMK ke-2. Kendari 13 April 1997.
Raharjo, Slamet. 1989. Magang Sebagai Salah Satu Sitem Belajar Asli Bagaimana Aspek-aspeknya. Disertasi FPS IKIP Bandung, tidak diterbitkan.
Schippers, U dan Patriana, Djadjang M. 1994. Pendidikan Kejuruan di Indonesia. Bandung: Angkasa.
Slameto, P.H. 1993. "Kontribusi Dunia Usaha Terhadap Pendidikan Menengah Kejuruan Dalam Upaya Mempersiapkan Tamatan yang Berkualitas". Makalah Disajikan dalam Seminar Pendidikan, IKIP YP. Klaten 17 Nopember 1993.
Sudjana, D. 2000. Strategi Pembelajaran Dalam Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Falah Production.
Sunaryo. 1996. "Tanggapan Dunia Usaha Terhadap Program Link and Match". Jurnal Kependidikan. 26 (1): 25-36.
Surunuddin. 1997. Laporan Ketua Kamar Dagang dan Industri Dati I Sultra pada Pembukaan Gebyar SMK ke-2. Kendari 13 April 1997.
Wahyu, Djatmiko Istanto. 1996. "Pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda pada Sekolah Menengah Kejuruan Teknologi". Jurnal Kependidikan. 26 (1): 15-24.

1 komentar:

Jamhari mengatakan...

bisakah di emailkan file "artikel penelitian" sebagai bahan referensi saya. trims.

arie.jamhari@gmail.com