Minggu, 30 Agustus 2009

Implementasi Kurikulum 2004 pada SMK di Malang Raya

Herianto

Abstract: The Implementation of 2004 SMK Curriculum in Malang. Facing the change of curriculum become 2004 SMK curriculum, teacher are required to be able to apply that curiculum. The know implementation of 2004 curriculum, this research is designed with deskriptive desigh and it is done in 10 SMK Tecnology and Industry in Malang. Risearch result shows that (1) the majority of teachers understand the curriculum, (2) few teachers make lesson plan (3) half amount of teachers do the teaching dan learning process, (4) half amount teachers do the assesment toward the result of study, (5) few fasilities, instructional media, human sources, society and enviroment support the implementation of 2004 SMK curriculum.

Kata kunci: implementasi, kurikulum 2004, SMK Malang Raya.


Perubahan menuju kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang selanjutnya disebut kurikulum 2004 diberlakukan secara beransur-angsur mulai tahun 2004/2005. Perubahan ini harus diantisipasi dan dipahami oleh beberapa pihak, karena kurikulum sebagai rancangan pembelajaran memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam keseluruhan kegiatan pemelajaran, yang akan menentukan proses dan hasil pendidikan.
Mulyasa (2004:4) berpendapat bahwa “keberhasilan perubahan kurikulum di sekolah sangat tergantung pada guru dan kepala sekolah”, karena kedua figur tersebut merupakan kunci yang menentukan dan menggerakkan berbagai komponen-komponen yang ada di sekolah. Dalam posisi tersebut, baik buruknya komponen sekolah yang lain sangat ditentukan oleh kualitas guru dan kepala sekolah, tanpa mengurangi arti penting tenaga kependidikan yang lain.
Dalam Implementasi kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi setiap sekolah memiliki kebebasan untuk menekankan dan mengedepankan kompetensi tertentu sesuai dengan visi dan misi sekolah dan daerah masing-masing. Inilah kelebihan yang paling utama dari kurikulum 2004, yang bisa mendongkrak kualitas sumber daya manusia (SDM), serta dapat meningkatkan relevansi pendidikan dengan kehidupan yang nyata dalam masyarakat. Pelaksanaan terhadap suatu kompetensi akan memberi warna terhadap sekolah, sehingga sekolah yang satu akan berbeda dengan sekolah yang berada di daerah lain.
Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Bab 1 Pasal 1 butir 19, disebutkan bahwa ”kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Sedangkan menurut Gagne dalam Hidayat (2005:9) ”kurikulum adalah suatu rangkaian unit bahan yang disusun sedemikian rupa sehingga setiap unit dipelajari secara utuh, dengan syarat kecakapan dan kemampuan yang terdapat dalam tujuan unit sebelumnya harus dikuasai oleh peserta diklat terlebih dahulu”.
Depdiknas (2004c:9) menyatakan ”implementasi kurikulum adalah kegiatan pembelajaran peserta diklat untuk mencapai kompetensi yang direncanakan dalam kurikulum yang akan digunakan”. Sedangkan menurut Mulyasa (2004:13) implementasi merupakan suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan, atau motivasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan maupun nilai dan sikap.
Menurut kurikulum SMK 2004, tujuan implementasi kurikulum adalah untuk melakukan pembelajaran agar diperoleh kompetensi sesuai dengan yang tercantum dalam kurikulum. Adapun langkah-langkah dalam implementasi kurikulum, baik model kelas wirausaha maupun kelas industri dilakukan melalui kegiatan-kegiatan berikut: (1) perencanaan program pembelajaran, (2) pelaksanaan pembelajaran, (3) penilaian hasil belajar.
Depdiknas (2004c:10) menyatakan bahwa ”perencanaan program pembelajaran adalah kegiatan merencanakan proses pembelajaran peserta diklat untuk mencapai kompetensi”. Sedangkan pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi bertujuan untuk memenuhi program pembelajaran yang telah ditetapkan, sehingga tujuan program diklat dapat tercapai. Menurut kurikulum SMK 2004 penilaian adalah proses penentuan nilai hasil pengukuran dibandingkan dengan acuan atau standar tertentu.
Arikunto (2002:3) berpendapat bahwa ”penilaian adalah pengambilan keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk, yang bersifat kualitatif. Sedangkan pengukuran adalah membandingkan sesuatu dengan ukuran, yang bersifat kuntitatif”.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat di simpulkan bahwa pengukuran merupakan bagian integral dari penilaian, sehingga dapat dikatakan bahwa apabila seseorang guru telah melakukan penilaian sesuai dengan prosedur, maka secara otomatis guru tersebut sudah melakukan pengukuran.
Penilaian mempunyai dua tujuan utama, pertama memperoleh umpan balik untuk bahan perbaikan lebih lanjut, dan kedua bertujuan untuk menilai hasil belajar peserta diklat secara berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik kompetensi.
Penilaian berbasis kelas dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung dan dikelola sendiri oleh sekolah, dalam hal ini guru, tanpa banyak melibatkan pihak DU/DI. Sedangkan penilaian kompetensi, pengelolaannya diselenggarakan oleh sekolah, pusat, dan pihak eksternal terutama DU/DI. Adapun dalam penelitian ini, penilaian hasil belajar hanya dilaksanakan di sekolah tanpa melibatkan pihak eksternal terutama dunia usaha/dunia industri.
Dari penjelasan tesebut, cukup beralasan apabila penulis mencoba untuk mengetahui bagaimana cara mengimplementasikan kurikulum SMK 2004 di daerah Malang Raya. Dengan mengetahui implementasinya, diharapkan dapat memperoleh data penelitian mengenai deskripsi implementasi kurikulum 2004 pada SMK di Malang Raya, utamanya deskripsi tentang pemahaman guru terhadap kurikulum, perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, penilaian hasil belajar, serta faktor-faktor pendukung dan penghambat penerapan kurikulum 2004 dalam proses pembelajaran. Sehingga akhirnya penelitian ini, dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan kepala sekolah dan guru dalam mengimplementasikan kurikulum 2004, khususnya SMK di Malang Raya.



METODE
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan penelitian deskriftif, yang artinya penelitian ini memusatkan perhatian pada gambaran sebagaimana adanya pada saat penelitian dilaksanakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi kurikulum 2004 pada SMK di Malang Raya.
Pupulasi dalam penelitian ini sebanyak 33 SMK kelompok teknologi dan industri yang ada di daerah Malang Raya. Sedangkan cara pengambilan sampel dilakukan dengan metode gugus sederhana (simple Cluster Sampling). Suprapto (2000:226) memberikan pengertian bahwa Cluster Sampling adalah sampel acak sederhana dimana setiap sampling unit terdiri dari kumpulan atau kelompok elemen. Kemudian untuk sampel yang diambil sebesar 30% dari populasi, yaitu 30% dari 33 SMK adalah sejumlah 10 SMK Kelompok Teknologi dan Indutri Bidang Keahlian Teknik Mesin Program Keahlian Teknik Pemesinan.
Subjek penelitian ini adalah guru praktik SMK Kelompok Teknologi dan Industri Bidang Keahlian Teknik Mesin Program Keahlian Teknik Pemesinan, yang ada di daerah Malang Raya. Dimana subjek ini diambil secara acak. Jumlah guru yang dijadikan subjek penelitian (responden) adalah 50 guru.
Instrumen dalam penelitian ini menggunakan angket, karena angket merupakan instrumen yang paling umum dipakai dalam penelitian deskriftif. Angket ini diberikan kepada guru SMK yang ada di Malang Raya. Sebelum angket disebarkan untuk digunakan sebagai alat pengumpul data yang sesungguhnya, terlebih dahulu dilakukan uji coba atau pre-test terhadap kuesioner.
Untuk memberikan bukti-bukti mengenai tujuan penelitian, datanya dikumpulkan melalui angket. Pada tahap ini data yang diperoleh diolah dengan menggunakan rumus persentase
Menurut 91% guru, kurikulum SMK 2004 yang terdiri dari: landasan kurikulum, program kurikulum, pengembangan kurikulum, penyusunan program pembelajaran, pengembangan modul, pelaksanaan pembelajaran, penilaian hasil belajar, pendekatan dan strategi pembelajaran, sebagian besar sudah dipahami oleh guru. Dengan Analisis Standar Deviasi Persentase, tingkat keefektifan (nilai Pp) nya mencapai 87,014 s.d. 95,371%, nilai tersebut lebih besar daripada nilai P yang ditetapkan = 80%. Karena Pp > P maka, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar guru SMK di Malang Raya sudah memahami kurikulum 2004.
Menurut 59% guru, perencanaan pembelajaran yang terdiri dari: (RKS), (SAP), dan modul, hanya sebagian kecil guru yang menyusun perencanaan pembelajaran. Dengan Analisis Standar Deviasi Persentase, tingkat keefektifan (nilai Pp) nya mencapai 52,266 s.d. 65.913%, nilai tersebut lebih kecil daripada nilai P yang ditetapkan = 80%. Karena Pp < P maka, dapat disimpulkan bahwa guru SMK di Malang Raya sebagian kecil menyusun perencanaan pembelajaran dalam penerapan kurikulum SMK 2004.
Menurut 78% guru, pelaksanaan pembelajaran yang terdiri dari penjelasan kompetensi secara detail, mastery learning, sistem moduler, remedial teaching, sekitar separuhnya guru sudah melaksanakan dalam proses pembelajaran. Dengan Analisis Standar Deviasi Persentase, tingkat keefektifan (nilai Pp) nya mencapai 72,499 s.d. 84,318%, nilai tersebut berada di antara rentang nilai yang ditetapkan = 80%. Karena Pp < P < Pp maka, dapat disimpulkan bahwa guru SMK di Malang Raya yang melaksanakan pembelajaran menurut kurikulum SMK 2004, dianggap sekitar separuhnya.
Menurut 78% guru, penilaian hasil belajar dalam pelaksanaan pembelajaran kurikulum SMK 2004, yang meliputi: penyusunan kriteria dan perangkat penilaian, tes awal (pra-test), penilaian berbasis kelas, Go or No Go, sekitar separuhnya guru sudah melaksanakan dalam proses pembelajaran. Dengan Analisis Standar Deviasi Persentase, tingkat keefektifan nilai (Pp) nya mencapai 72,499 s.d. 84,318%, nilai tersebut berada di antara rentang nilai yang ditetapkan = 80%. Karena Pp < P < Pp maka, dapat disimpulkan bahwa sekitar separuhnya guru SMK di Malang Raya sudah melaksanakan penilaian hasil belajar dalam proses pembelajaran.
Menurut 58% guru, prasarana sekolah yang meliputi: gedung, perpustakaan, dan bengkel praktik, sebagian kecil mendukung penerapan kurikulum SMK 2004 dalam proses pembelajaran. Dengan Analisis Standar Deviasi Persentase, tingkat keefektifan nilai (Pp) nya mencapai 50,736 s.d. 64,383%, nilai tersebut lebih kecil daripada nilai P yang ditetapkan = 80%. Karena Pp < P maka, dapat simpulkan bahwa prasarana SMK di Malang Raya sebagian kecil mendukung penerapan kurikulum SMK 2004 dalam proses pembelajaran.
Adapun yang menjadi alasan guru, prasarana SMK di Malang Raya hanya sebagian kecil mendukung penerapan kurikulum 2004, salah satunya disebabkan karena prasarana yang ada di SMK kurang reprensentatif dan kurang kondusif untuk proses pembelajaran.
Menurut 56% guru, alat dan bahan ajar yang meliputi: alat praktik, bahan praktik, buku penunjang, modul, buku kurikulum, sebagian kecil mendukung penerapan kurikulum SMK 2004 dalam proses pembelajaran. Dengan Analisis Standar Deviasi Persentase, tingkat keefektifan nilai (Pp) nya mencapai 51,083 s.d. 61,654%, nilai tersebut lebih kecil daripada nilai P yang ditetapkan = 80%. Karena Pp < P maka, alat dan bahan ajar SMK di Malang Raya dianggap sebagian kecil mendukung penerapan kurikulum SMK 2004 dalam proses pembelajaran.
Sedangkan yang menjadi alasan guru, hanya sebagian kecil alat dan bahan ajar SMK di Malang Raya mendukung penerapan kurikulum 2004, salah satunya disebabkan karena alat dan bahan ajar yang ada di SMK jumlahnya sangat terbatas.
Menurut 77% guru, sumber daya manusia SMK di Malang Raya sekitar separuhnya sudah mendukung penerapan kurikulum 2004 dalam proses pembelajaran. Dengan Analisis Standar Deviasi Persentase, tingkat keefektifan nilai (Pp) nya mencapai 72,513 s.d. 81,448%, nilai tersebut berada di antara rentang nilai yang ditetapkan = 80%. Karena Pp < P < Pp maka, dapat disimpulkan bahwa sekitar separuhnya sumber daya manusia SMK di Malang Raya mendukung penerapan kurikulum 2004 dalam proses pembelajaran.
Adapun yang menjadi alasan guru, sekitar separuhnya SDM SMK di Malang Raya mendukung penerapan kurikulum 2004, salah satunya dikarenakan SDM yang ada cukup representatif dan kompeten dalam bidangnya.
Menurut 43% guru, peran serta masyarakat sebagian kecil mendukung penerapan kurikulum SMK 2004 dalam proses pembelajaran. Dengan Analisis Standar Deviasi Persentase, tingkat keefektifan nilai (Pp) nya mencapai 36,348 s.d. 49.995%, nilai tersebut lebih kecil daripada nilai P yang ditetapkan = 80%. Karena Pp < P maka, dapat disimpulkan bahwa peran serta masyarakat SMK di Malang Raya yang mendukung penerapan kurikulum 2004 dalam proses pembelajaran, dianggap sebagian kecil.
Sedangkan yang menjadi alasan guru, hanya sebagian kecil peran serta masyarakat mendukung penerapan kurikulum 2004, salah satunya disebabkan karena masyarakat kurang berperan aktif dalam membantu kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah dalam upaya memelihara, menumbuhkan, meningkatkan, dan mengembangkan pendidikan.
Menurut 64% guru, lingkungan sekolah SMK di Malang Raya sebagian kecil mendukung penerapan kurikulum 2004 dalam proses pembelajaran. Dengan Analisis Standar Deviasi Persentase, tingkat keefektifan nilai (Pp) nya mencapai 51,800 s.d. 75,439%, nilai tersebut lebih kecil daripada nilai P yang ditetapkan = 80%. Karena Pp < P maka, dapat disimpulkan bahwa lingkungan sekolah SMK di Malang Raya yang mendukung penerapan kurikulum SMK 2004 dalam proses pembelajaran, dianggap sebagian kecil.
Adapun yang menjadi alasan guru, hanya sebagian kecil lingkungan sekolah mendukung penerapan kurikulum SMK 2004 dalam proses pembelajaran, salah satunya disebabkan karena lingkungan yang ada di sekolah kurang kondusif dan kurang strategis untuk proses pembelajaran.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa: (1) guru SMK di Malang Raya sebagian besar sudah memahami kurikulum SMK 2004, rentang nilai (Pp) nya mencapai 87,014 s.d. 95,371%, (2) sebagian kecil guru SMK di Malang Raya menyusun perencanaan pembelajaran untuk penerapan kurikulum SMK 2004, rentang nilai (Pp) nya mencapai 52,266 s.d. 65.913%, (3) sekitar separuhnya guru SMK di Malang Raya melaksanakan pembelajaran untuk penerapan kurikulum SMK 2004, rentang nilai (Pp) nya mencapai 72,499 s.d. 84,318%, (4) sekitar separuhnya guru SMK di Malang Raya melaksanakan penilaian hasil belajar untuk penerapan kurikulum SMK 2004, rentang nilai (Pp) nya mencapai 72,499 s.d. 84,318%, (5) faktor pendukung dan penghambat penerapan kurikulum SMK 2004 dalam proses pembelajaran meliputi: (a) sebagian kecil prasarana SMK di Malang Raya mendukung penerapan kurikulum SMK 2004 dalam proses pembelajaran, rentang nilai (Pp) nya mencapai 50,736 s.d. 64,383%, (b) sebagian kecil sarana (alat dan bahan ajar) SMK di Malang Raya mendukung penerapan kurikulum SMK 2004 dalam proses pembelajaran, rentang nilai (Pp) nya mencapai 51,083 s.d. 61,654%, (c) sekitar separuhnya SDM SMK di Malang Raya mendukung penerapan kurikulum SMK 2004 dalam proses pembelajaran, rentang nilai (Pp) nya mencapai 72,513 s.d. 81,448%, (d) sebagian kecil peran serta masyarakat mendukung penerapan kurikulum SMK 2004 dalam proses pembelajaran, nilai (Pp) nya mencapai 36,348 s.d. 49.995%, (e) sebagian kecil lingkungan nonfisik sekolah mendukung penerapan kurikulum SMK 2004 dalam proses pembelajaran, nilai (Pp) nya mencapai 51,800 s.d. 75,439%.

Saran
Bertitik tolak dari temuan penelitian ini, maka disarankan kepada guru SMK di Malang Raya untuk menyusun perencanaan pembelajaran, yang meliputi: RKS, SAP, dan modul dengan cara menganalisis masing-masing sub kompetensi. Di samping itu, untuk dapat mengetahui lebih dalam mengenai implementasi kurikulum SMK 2004, dilanjutkan penelitian mengenai efektifitas pembelajaran sistem modular, sistem blok, dan remedial teaching, ditinjau dari segi waktu/lama pelaksanaan dengan menggunakan jenis penelitian tindakan (action reserch).

DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, S. 2002. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Kurikulum SMK Edisi 2004c. Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Hidayat, R. 2005. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi di SMK PGRI 2 Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang.
Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suprapto, J. 2000. Teknik Supling untuk Survei dan Eksperimen. Jakarta: Rineka Cipta.

Pengembangan Modul Bubut Dasar Berdasarkan KTSP dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran di SMKN 1 Pungging

Pengembangan Modul Bubut Dasar Berdasarkan KTSP dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran di SMKN 1 Pungging
Oleh:
Herianto, M.Pd
Abstract: The Development of Basic Turning Machine Module Based on KTSP to Improve the Quality of Teaching-learning Proces in SMKN 1 Pungging. The purpose of the developing experiment is to develop the basic turning machine module based on KTSP to improve the quality of teaching-learning proces in SMKN 1 Pungging. The method of the developing experiment in this teaching-learning project is Dick and Carey model. Based on the expert instuctor estimation, the module is included in the criteria of good (80%), while the design specialist, the module is in the rate of less (54,7%). The estimation list, based on the group test, it belongs to good criteria (75%), and in the trial test, it belongs to good criteria (75,04%).

Kata kunci: pengembangan, modul, KTSP, kualitas pembelajaran.


PENDAHULUAN

SMKN 1 Pungging Mojokerto merupakan salah satu SMK yang baru mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Data sekolah menunjukkan bahwa 4 (empat) Program Keahlian sudah mengembangkan kurikulum, termasuk Program Keahlian Teknik Pemesinan. Program Keahlian Teknik Pemesinan merupakan program keahlian yang bergerak dalam bidang produksi, dengan mesin bubut, mesin frais, dan mesin skrap sebagai peralatan utama dalam pelaksanaan praktik.
Berdasarkan data sekolah, menunjukkan bahwa jumlah peralatan yang ada di Program Keahlian Teknik Pemesinan terdiri dari; mesin bubut 8 unit, mesin frais 4 unit, dan mesin skrap 2 unit. Melihat jumlah mesin yang ada tidak sebanding dengan jumlah peserta diklat yang ada, yakni berjumlah 429 anak. Adapun jumlah bahan ajar (modul dan buku) yang tersedia untuk guru pada matadiklat produktif sangat terbatas, hanya 15 eksemplar. Sedangkan jumlah kompetensi yang ada di Program Keahlian Teknik Pemesinan sebanyak 20 kompetensi. Kondisi tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas pembelajaran.
Data sekolah juga menunjukkan bahwa nilai kompetensi teori kejuruan peserta diklat Program Keahlian Teknik Pemesinan mulai tahun ajaran 2006/2007, 2007/2008 berada dalam kategori rendah, yakni rata-rata 6,5 atau hanya 60% peserta diklat yang mencapai standar kompetensi. Padahal untuk dinyatakan lulus/kompeten dalam setiap kompetensi, semua peserta diklat harus memperoleh nilai minimal 7,00 (Depdiknas, 2006: 20). Realita tersebut secara tidak langsung merupakan dampak negatif dari rendahnya kualitas pembelajaran yang ada di Program Keahlian Teknik Pemesinan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru/instruktur praktik, menyatakan bahwa rendahnya kualitas pembelajaran di Program Keahlian Teknik Pemesinan disebabkan karena tiga hal, yakni (1) kualitas pendidik/instruktur belum sesuai dengan kualifikasi, (2) sumber belajar/bahan ajar belum memadai, dan (3) prasarana dan sarana belum memadai. Ketiga komponen tersebut secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran yang ada di kelas/bengkel.
Dari hasil pengamatan peneliti pada Program Keahlian Teknik Pemesinan, alat dan bahan ajar merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran. Alat dan bahan ajar merupakan fasilitas/sumber belajar yang berkaitan langsung dengan proses pembelajaran. Pendayagunaan fasilitas dan sumber belajar memiliki arti yang sangat penting dalam melengkapi, memelihara, dan memperkaya khasanah belajar. Pendayagunaan fasilitas dan sumber belajar secara maksimal akan memandu peserta diklat dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.
Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan hasil wawancara dengan ketua Program Keahlian Teknik Pemesinan, ditemukan bahwa sumber belajar yang dirancang untuk proses pembelajaran belum disusun berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran. Di samping itu juga, ditemukan bahwa setiap kelas memiliki peserta diklat dengan kemampuan belajar yang berbeda-beda. Karena perbedaan tersebut perlu diupayakan suatu teknik pembelajaran maupun sumber belajar yang disesuaikan dengan perbedaan individu peserta diklat. Oleh karena itu, pembelajaran akan lebih efektif jika dirancang secara sistemik dan sistematis. Dengan demikian, untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dikembangkan rancangan pembelajaran yang bersifat individual, yakni sistem pembelajaran modular.
Modul merupakan paket belajar mandiri yang meliputi serangkaian pengalaman belajar yang direncanakan dan dirancang secara sistematis untuk membantu peserta diklat mencapai tujuan. Jadi modul merupakan rancangan pembelajaran yang sangat tepat untuk membantu peserta diklat dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal ini disebabkan karena: (1) modul merupakan paket pembelajaran yang bersifat self instruction, (2) mengakui adanya perbedaan individu, (3) memuat rumusan tujuan pengetahuan, (4) adanya asosiasi, struktur, dan urutan pengetahuan, (5) penggunaan berbagai macam media pembelajaran, (6) adanya partisipasi aktif peserta diklat, (7) adanya reinforcement langsung terhadap respon peserta diklat, dan (8) adanya evaluasi terhadap penguasaan bahan.
Realita di lapangan menujukkan bahwa modul yang relevan dengan kondisi SMKN 1 Pungging Program Keahlian Teknik Pemesinan belum ada. Hal ini disebabkan karena guru belum pernah merancang modul pembelajaran. Padahal dalam melaksanakan kurikulum, seorang guru harus dapat mengembangkan rancangan pembelajaran yang relevan dengan kondisi sekolah. Kondisi tersebut secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran. Untuk itu, ketersediaan modul yang relevan merupakan sesuatu yang mutlak harus dimiliki oleh peserta diklat dan guru dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa Program Keahlian Teknik Pemesinan belum memiliki modul yang relevan/sesuai dengan KTSP SMKN 1 Pungging Mojokerto. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan modul agar dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Adapun dalam pengembangan ini lebih difokuskan pada pengembangan matadiklat Bubut Dasar.
Matadiklat Bubut Dasar merupakan matadiklat produktif dengan kompetensi, yaitu Melakukan Pekerjaan dengan Mesin Bubut. Data Program Keahlian Teknik Pemesinan menunjukkan bahwa nilai teori kejuruan untuk matadiklat Bubut Dasar selama dua tahun terakhir, berada dalam kategori rendah, yakni rata-rata 6,4 atau hanya 58% peserta diklat yang mencapai standar kompetensi. Salah satu faktor utamanya adalah belum tersedianya modul untuk matadiklat Bubut Dasar yang sesuai dengan KTSP SMKN 1 Pungging. Belum adanya modul tersebut secara tidak langsung akan berdampak negatif terhadap kualitas pembelajaran, sehingga akan mempengaruhi ketercapaian peserta diklat dalam mencapai standar kompetensi minimal yang telah ditentukan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu adanya pengembangan modul Bubut Dasar berdasarkan KTSP dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di SMKN 1 Pungging. Dengan demikian tujuan penelitian pengembangan ini adalah untuk mewujudkan modul Bubut Dasar yang sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMKN 1 Pungging. Rancangan pembelajaran berupa modul bubut dasar diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di SMKN 1 Pungging.

METODE
Model pengembangan yang digunakan dalam rancangan pembelajaran modul Bubut Dasar ini adalah Model Dick and Carey (2001). Model ini terdiri atas (10) sepuluh langkah (tahap), akan tetapi dalam penelitian pengembangan ini hanya dilakukan sampai pada tahap yang kesembilan. Adapun tahapannya meliputi: (1) mengidentifikasi tujuan pembelajaran, (2) analisis pembelajaran, (3) mengidentifikasi tingkah laku masukan dan karakteristik peserta diklat, (4) merumuskan tujuan kegiatan pembelajaran, (5) mengembangkan butir-butir tes acuan patokan, (6) mengembangkan strategi pembelajaran, (7) mengembangkan dan memilih materi pembelajaran, (8) merancang dan melakukan penilaian formatif, (9) merevisi materi pembelajaran, dan (10) melakukan penilaian sumatif.
Prosedur pengembangan dalam penelitian ini adalah (1) menetapkan matadiklat, (2) mengidentifikasi silabus matadiklat yang akan dikembangkan, (3) mengidentifikasi tujuan pembelajaran, menulis tujuan pembelajaran, mengidentifikasi tingkah laku masukan dan karakteristik peserta diklat, merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan butir-butir tes, mengembangkan strategi pembelajaran, dan mengembangkan materi pembelajaran, (4) tahap penyusunan dan penulisan modul yang mempunyai komponen pembelajaran yang meliputi: standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, epitome, uraian isi pelajaran, rangkuman, soal latihan/tugas, tes formatif, evaluasi, kunci jawaban, dan daftar pustaka, (5) uji coba produk meliputi kajian ahli matadiklat (isi), ahli media, dan ahli desain, uji coba perorangan, uji coba kelompok kecil, uji coba lapangan.
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian pengembangan ini adalah angket, wawancara, dan tes. Penelitian ini menggunakan teknik analisis statistik deskriptif. Teknik analisis ini juga digunakan untuk mengolah data yang diperoleh melalui angket dalam bentuk deskriptif persentase. Skor tertinggi setiap pernyataan adalah 4 dan terendah adalah 1.
Kajian Produk yang Telah Direvisi
Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya produk akhir pengembangan modul bubut dasar berdasarkan KTSP dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di SMKN 1 Pungging, dapat diselesaikan dengan baik. Berdasarkan hasil akhir uji coba lapangan, modul pembelajaran yang dikembangkan ini, telah berhasil menunjukkan kebermanfaatannya serta keefektifannya dalam pembelajaran. Hal ini didasarkan hasil wawancara dengan peserta diklat dan guru/instruktur mata diklat, di samping observasi langsung peneliti pada saat pembelajaran di bengkel. Komentar peserta diklat dan guru/instruktur menunjukkan bahwa modul pembelajaran ini sangat membantu dan memudahkan peserta diklat dalam memahami standar kompetensi melakukan pekerjaan dengan mesin bubut.
Pada saat uji coba lapangan peserta diklat terlihat antusias dalam mengikuti pembelajaran, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar dan efektif. Hal ini dibuktikan dengan perolehan hasil belajar peserta diklat sebelum pembelajaran (pretes) memperoleh skor rata-rata 39,67 dan sesudah pembelajaran (postes) memperoleh skor rata-rata 75,00, ada kenaikan perolehan skor sebesar 35,33. Dengan demikian, modul pembelajaran yang dihasilkan telah memberikan konstribusi yang signifikan terhadap peningkatan kualitas pembelajaran.
Idealnya modul pembelajaran, yang dikembangkan harus tetap berpedoman pada prinsip belajar aktif. Belajar aktif adalah proses belajar yang disertai adanya aktivitas mental dan atau aktivitas fisik yang dapat mengoptimalkan pencapaian hasil belajar (Purwanto dan Sadjati, 2004). Contoh aktivitas mental dalam belajar aktif adalah berfikir, memilih, dan menerka, membayangkan, dan menyikapi. Sedangkan aktivitas fisik dalam belajar aktif, misalnya menulis atau melakukan praktik. Berikut ini akan dikaji secara obyektif dan tuntas wujud akhir (prototipe produk) pengembangan modul bubut dasar berdasarkan KTSP dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di SMKN 1 Pungging.
Modul yang baik dapat dilihat dari kualitas isinya, yakni; isinya sesuai dan tepat serta cakupan materinya cukup memadai, urutan materi tersaji secara sistematis, uraian dan contohnya jelas, memungkinkan terjadinya interaktivitas, misalnya ada suruhan tugas dan latihan fisik, layout dan ilustrasinya menarik, dan bahasa yang digunakan bersifat komunikatif dengan kalimat-kalimat sederhana, pendek, dan langsung. Selain itu, materi dalam modul harus sesuai dengan tujuan pembelajaran, akurat dan komprehensif.
Selain kualitas isi, kualitas fisik modul perlu juga diperhatikan. Kualitas fisik ini berkaitan dengan pemilihan jenis huruf (font). Ukuran pencetakan, dan penjilidannya harus diperhatikan. Kerjasama tim yang solid dan komunikasi yang intensif antara penulis dengan semua unsur yang berpartisipasi dalam produksi modul ini, sangat diperlukan untuk menghasilkan modul yang baik. Berdasarkan data angket uji coba kelompok kecil dan lapangan, untuk item tampilan fisik mendapat penilaian dengan presentase rata-rata 75%. Jika dikonversikan dengan tabel tingkat validitas, tampilan fisik termasuk dalam kriteria baik. Ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kualitas fisik setelah dilakukan perbaikan.
Secara keseluruan modul bubut dasar yang dikembangkan menggunakan ukuran kertas A4. Ukuran kertas ini dipilih karena modul yang akan dibuat lebih banyak gambar-gambar, selain itu teks dan gambar diusahakan memenuhi 50% luas halaman kertas. Tinker dalam Sudarma (2006:107), menyatakan bahwa jika ingin memperoleh estetika teks, sebaiknya teks memenuhi luas halaman kertas sebanyak 50%.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tujuan pokok pengembangan modul bubut dasar berdasarkan KTSP adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di SMKN 1 Pungging. Hal ini dapat dibuktikan dengan perolehan hasil belajar peserta diklat sebelum pembelajaran (pretes) memperoleh skor rata-rata 39,67 dan sesudah pembelajaran (postes) memperoleh skor rata-rata 75,00, ada kenaikan perolehan skor sebesar 35,33. Dengan demikian, modul bubut dasar yang dikembangkan telah memberikan konstribusi yang signifikan terhadap peningkatan kualitas pembelajaran.

Saran Pemanfaatan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan produk ini, jika produk ini digunakan dalam proses pembelajaran praktik, adalah sebagai berikut. (1) modul pembelajaran ini didesain untuk pembelajaran praktik di bengkel, sehingga peran guru/instruktur masih diperlukan dalam memperjelas konsep, fakta dan prinsip dasar dalam kompetensi melakukan pekerjaan dengan mesin bubut, (2) tujuan pokok pengembangan modul ini adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di SMKN 1 Pungging, dalam rangka meningkatkan kompetensi peserta diklat pada matadiklat bubut dasar, sehingga mencapai standar minimal kompetensi yang telah ditetapkan.

Saran Desiminasi
Pembelajaran pengembangan modul ini dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta diklat Program Keahlian Teknik Pemesinan SMKN 1 Pungging. Apabila ingin digunakan pada SMK-SMK lain, perlu dilakukan penyesuaian dengan kondisi setempat.
Mengingat modul ini baru melalui tahapan penilaian formatif, maka disarankan sebelum didesiminasikan secara lebih luas, perlu dilakukan penilaian sumatif. Dengan demikian, keefektifan dan keefisienan modul benar-benar teruji.

Saran Pengembangan Produk Lebih Lanjut
Berdasarkan hasil uji coba menunjukkan bahwa produk pengembangan berupa modul Bubut Dasar sudah dalam kriteria baik, namun masih banyak aspek yang dapat dikembangkan. Beberapa saran pengembang/peneliti yang dapat dilakukan untuk pengembangan produk lebih lanjut, adalah sebagai berikut: (1) perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut pada aspek yang lebih besar, dengan mengujikan keseluruhan materi yang ada dalam modul ini, (2) modul pembelajaran bubut dasar yang sudah dikembangkan perlu diperbaiki dan disempurnakan lagi terutama dari sisi desain dan media pembelajaran.

DAFTAR RUJUKAN
Depdiknas. 2006. Petunjuk Teknis Penyusunan Perangkat Uji Ujian Nasional Komponen Produktif dengan Pendekatan Project Work. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.
Dick, W., Carey, L. & Carey O. J. 2001. The Systematic Design Of Instruction. Fifth edition. London: Scott, L. Foresman and Company.
Kuswandi, D. 2001. Validasi Media: Analisis Kelayakan Media yang Akan Dikembangkan. Bahan Kuliah tidak diterbitkan. Malang: Jurusan TEP FIP Universitas Negeri Malang.
Puwanto dan Sadjati, I. M. 2004. Pendekatan Inovatif Instructional System Design dalam Perencanaan dan Pengembangan Bahan Ajar. Dalam Dwi Padmo (Ed). Teknologi Pembelajaran: Peningkatan Kualitas Belajar Melalui Teknologi Pembelajaran (hlm. 415-438). Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan.
Sudarma, I. K. 2006. Pengembangan Paket Pembelajaran Dengan Model Dick and Carey Mata Kuliah Pengembangan Media Pendidikan II IKIP Negeri Singaraja. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Artikel penelitian

PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN SISTEM GANDA
PADA SMK DI KOTA KENDARI*)
Oleh : A n w a r **)
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan Dunia Usaha dan Industri (DUDI) terhadap pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG), tanggapan guru terhadap pembekalan siswa di SMK dan pelaksanaan PSG di DUDI, dan tanggapan siswa terhadap pembelajaran di SMK dan pelaksanaan PSG di DUDI. Penelitian dirancang dalam bentuk deskriptif kuantitatif dengan sampel masing-masing 82 DUDI, 64 orang Guru, dan 187 siswa. Data dikumpulkan melalui angket, wawancara, dan pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan PSG di DUDI telah berjalan cukup baik. Persiapan pihak sekolah terhadap keterampilan praktis pra PSG telah dilaksanakan melalui kerja sama antara sekolah dengan DUDI, sehingga apa yang diajarkan sudah relevan dengan kebutuhan DUDI, ini terbukti bahwa pelaksanaan PSG sudah berjalan cukup baik. Pernyataan DUDI dan guru tersebut mendapat mengakuan yang sama dari siswa peserta PSG.
Kata kunci: pendidikan sistem ganda, magang, link and match, dunia usaha dan industri, sekolah menengah kejuruan
*) Hasil Penelitian dibiayai oleh Universtas Terbuka Tahun 1999
**) Dosen FKIP Universitas Haluoleo Kendari/Mahasiswa Program Doktor PPs UPI Bandung
________________________________________
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Salah satu konsepsi pendidikan yang sedang aktual dewasa ini adalah sistem magang bagi siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Di Jerman sistem ini disebut dual sistem, di Australia disebut dengan apprentice system. Dalam lingkungan Departemen Pendidikan Nasional khususnya pada SMK sistem magang ini operasionalnya disebut dengan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) yang diadopsi dari istilah Jerman dual system. Secara teoritis, PSG ini merupakan suatu proses pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik antara program pendidikan pada sekolah dengan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung pada dunia kerja dan secara terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu.
Secara teknis, siswa SMK dalam jangka waktu tertentu dikirim ke dunia usaha dan industri (DUDI) untuk bekerja pada jenis profesi tertentu yang sesuai dengan bidang studinya. Dengan modal ini, maka siswa akan lebih familiar terhadap dunia kerja, sehingga setelah lulus akan lebih mudah beradaptasi karena berbekal keahlian profesi yang pernah didapatkan dari dunia kerja. Selain itu, lulusan SMK kelak lebih profesional menekuni profesinya di DUDI.
Hasil penelitian empiris Sunaryo (1996) menunjukkan bahwa tanggapan dunia industri dalam rangka program link and match pada indikator penyusunan program, penyusunan kurikulum, dan pelaksanaan pendidikan adalah cukup positif dan cenderung bersedia terlibat langsung. Namun, kesediaan dunia industri dalam melakukan evaluasi dan pemasaran lulusan cenderung kurang karena mereka menganggap tidak memiliki keahlian pada bidang ini, sedangkan pemasaran lulusan merupakan suatu masalah rumit karena terjadi ketidakseimbangan antara besarnya lulusan dengan daya tampung dunia industri untuk tenaga kerja.
Pelaksanaan PSG di Sulawesi Tenggara dimulai sejak tahun pelajaran 1995/1996 dan diikuti sebanyak 13 SMK Negeri yang ada. Pada tahun pelajaran 1997 program ini telah berhasil mengajak serta sebanyak 350 perusahaan dan berhasil melayani siswa sebanyak 2.800 orang (Rachman, 1997). Di Kota Kendari dari 4 SMK Negeri yang ada, 3 diantaranya yang telah melaksanakan PSG. Ketiga SMK tersebut meliputi SMK Kelompok Bisnis dan Manajemen, SMK Kelompok Teknologi dan Industri, dan SMK Kelompok Pariwisata, ketiganya telah berhasil menjalin mitra kerja dengan DUDI sebanyak 125 buah dan melibatkan siswa sebanyak 554 orang. Bahkan, untuk tahun pelajaran 1997/1998 sebagai tindak lanjut dari kerja sama sebelumnya, keempat SMK yang ada di Kota Kendari telah melakukan kerja sama dengan Kadinda Tk. I Sulawesi Tenggara untuk Pengembangan Unit Produksi.
Program PSG ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pembangunan di Sulawesi Tenggara yang akhir-akhir ini mengalami tekanan akibat krisis moneter yang berkepanjangan sehingga memerlukan tenaga-tenaga terampil yang mampu menciptakan peluang kerja di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami krisis. Fenomena ini tentu menarik untuk diantisipasi, dan salah satu langkah antisipatif adalah melalui program PSG. Melalui program ini diharapkan out put SMK mampu memenuhi kebutuhan pasar kerja khususnya tenaga kerja menengah untuk DUDI atau menciptakan lapangan kerja baru.
Meskipun demikian, pelaksanaan PSG tidak luput dari masalah, seperti diungkapkan oleh Ketua Kadinda TK. I Sultra bahwa ada 3 kendala utama yang didapati oleh DUDI di lapangan, yaitu (1) ketidaksesuaian antara latar belakang disiplin ilmu siswa dengan dunia usaha tujuan bekerja, (2) adanya proses penyesuaian diri oleh siswa pada tahap awal, dan (3) monitoring dari sekolah masih relatif kurang (Surunuddin, 1997). Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, maka peran serta dunia usaha dalam program PSG sangat diharapkan melalui aspek: (1) perencanaan program, (2) penyusunan kurikulum, (3) penyelenggaraan pendidikan, (4) evaluasi program dan hasil, serta (5) pemasaran lulusan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993).
Selama ini belum ada penilaian secara empiris tentang tanggapan atau keterlibatan DUDI, guru, dan siswa dalam rangka pelaksanaan PSG di Kota Kendari. Pada kenyataannya SMK memiliki latar yang berbeda dan sebagian besar melakukan PSG pada perusahaan yang berbeda, tetapi mereka melakukan program yang sejenis sehingga DUDI memberikan penilaian yang sama. Permasalahan tersebut perlu dikaji secara empiris sehingga dapat memberikan sumbangan dalam rangka peningkatan SDM.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dari hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) tanggapan DUDI terhadap pelaksanaan PSG, meliputi keterlibatan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program, evaluasi program, dan pemasaran lulusan, (2) tanggapan guru terhadap pelaksanaan pembekalan siswa di SMK dan pelaksanaan PSG di DUDI, dan (3) tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran di SMK, dan pelaksanaan pembelajaran di DUDI.
2. Tinjauan Pustaka
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu jenjang pendidikan menengah yang mempunyai misi khusus. SMK bertujuan mengutamakan penyiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap profesional (Peraturan Pemerintan No.29/1990) sebagai tenaga kerja tingkat menengah pada DUDI.
Implementasi dari SMK yang berorientasi pada dunia kerja, didasarkan pada kebijakan link and match (keterkaitan dan kesepadanan). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995) merumuskan bahwa secara filosofis link and match merupakan cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian integral dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan harus dirancang dan dilaksanakan dalam kaitan yang harmonis dan selaras dengan aspirasi dan kebutuhan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sehingga hasilnya akan benar-benar sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat. Kebutuhan masyarakat dalam pembangunan adalah sangat luas, bersifat multidimensional dan multisektoral mulai dari kebutuhan peserta didik, kebutuhan keluarga, kebutuhan untuk pembinaan warga negara yang baik, dan kebutuhan dunia kerja (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993).
Secara harfiah link berarti ada pertautan, keterkaitan, atau hubungan interaktif, dan match berarti cocok, sesuai, serasi, atau sepadan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995). Dalam kaitan ini link and match diartikan sebagai proses pendidikan yang seharusnya sesuai dan terkait langsung dengan kebutuhan pembangunan, sehingga hasilnya sesuai dengan tuntutan kebutuhan tersebut, baik jumlah, mutu, jenis, maupun waktunya.
Tujuan link and match adalah untuk mendekatkan antara supply dan demand mutu SDM, terutama yang berhubungan dengan kualitas ketenagakerjaan, dimana dunia pendidikan sebagai penyedia SDM dan dunia kerja serta masyarakat sebagai pihak yang membutuhkan. Link and match pada dasarnya menyangkut upaya peningkatan sistem pendidikan agar benar-benar berfungsi sebagai wahana atau instrumen bagi pembangunan dan perubahan sosial, sekaligus bermanfaat sebagai investasi untuk pembangunan masa depan.
Secara konseptual dimensi link and match dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal menyangkut tiga aspek: (1) secara vertikal, dimana program pembangunan pendidikan dan pengembangan kebudayaan harus benar-benar terpadu dan terkait dengan implementasinya di lapangan, (2) secara horizontal yaitu upaya meningkatkan keterkaitan secara terpadu dan selaras dengan program pembangunan pendidikan dan pembangunan kebudayaan pada berbagai unit kerja di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan (3) secara spesial, yaitu upaya untuk meningkatkan keterkaitan secara terpadu dan selaras antara program dengan pelaksanaan pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan.
Dimensi eksternal terkait dengan peran dan fungsi pendidikan sebagai instrumen pembangunan nasional khususnya perubahan sosial dalam konteks global. Dimensi ini dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan agar lebih sesuai dengan tuntutan seluruh bidang pembangunan nasional (Pakpahan, 1994).
Untuk merealisasikan kebijakan link and match tersebut, maka dicanangkanlah program Pendidikan Sistem Ganda (PSG). PSG merupakan perkembangan dari magang yaitu belajar sambil bekerja atau bekerja sambil belajar langsung dari sumber belajar dengan aspek meniru sebagai unsur utamanya dan hasil belajar/bekerja itu merupakan ukuran keberhasilannya (Raharjo, 1989).
Kegiatan belajar dalam kelompok produktif, dapat digolongkan ke dalam tiga macam, yaitu (1) orang yang memiliki keahlian dalam peningkatan kualitas produksi, pengolahan bahan baku, dan penggunaan alat-alat produksi, (2) orang yang belum memiliki kemampuan dalam peningkatan kualitas produksi, belajar dari orang pertama melalui magang, dan (3) orang yang telah memiliki kemampuan dari kelompok pertama melalui magang, tetapi masih dalam tingkatan lebih rendah, mereka ini bekerja untuk meningkatkan produksi dengan diawasi oleh pihak pertama. Dalam proses produksi, ketiga golongan tersebut saling berhubungan dan saling membutuhkan (Sudjana, 2000). Komponen-komponen magang adalah: tujuan, program, sumber belajar, warga belajar, sarana dan prasarana, pengorganisasian, dan lingkungan (Raharjo, 1989).
Sistem ganda (dual sistem) dalam hal ini merupakan model penyelenggaraan pendidikan kejuruan dimana perencanaan dan pelaksanaan pendidikan diwujudkan melalui kemitraan antara dunia kerja dengan sekolah, dan penyelenggaraan pendidikan berlangsung sebagian di sekolah dan sebagian lagi di dunia usaha atau industri (Pakpaham, 1995; Schippers dan Patriana, 1994).
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa PSG mempunyai dua tempat kegiatan pembelajaran dilaksanakan berbasis sekolah (school based learning) dan berbasis kerja (work based learning). Siswa berstatus sebagai pemagang di industri dan sebagai siswa di SMK. Bukit (1997) mengartikan PSG sebagai sistem pendidikan kejuruan yang melaksanakan pembelajaran di sekolah dan industri, yang mana pembelajaran di sekolah dan pelatihan di industri merupakan dua komponen yang berasal dari program yang tidak terpisahkan.
Peran dunia usaha/industri menurut Surunuddin (1997) adalah mengoptimalkan SDM yang berkualitas melalui PSG. Di sekolah, mereka diberi teori dan sebagian diajarkan melalui magang di dunia kerja sehingga lebih mengenal lapangan. Mereka bekerja praktik di perusahaan selama jangka waktu tertentu sehingga dalam jangka waktu 3 tahun akan menjadi tenaga siap pakai dengan pola pikir yang profesional. Secara harfiah, PSG diadopsi dari kata bahasa Jerman yaitu link and match yang berarti cara pandang bahwa pendidikan merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) membuat batasan PSG sebagai suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu.
Tujuan PSG adalah: (1) menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas, (2) memperkokoh link and match antara SMK dan dunia kerja, (3) meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pendidikan dan pelatihan tenaga kerja berkualitas, dan (4) memberi pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja sebagai bagian dari proses pendidikan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995). Program PSG akan dapat terwujud dengan baik jika terdapat komponen-komponen: (1) institusi pasangan, (2) program pendidikan bersama, (3) kelembagaan kerja sama, (4) nilai tambah dan insentif, serta (5) jaminan keberlangsungan.
Program PSG disusun berdasarkan Kurikulum SMK 1994 yang mengacu pada profil kemampuan dan Garis-garis Besar Program Pembelajaran. Salah satu upaya untuk menyusun program PSG tersebut dilakukan melalui pemetaan profil kemampuan bahan kajian komponen pendidikan yang meliputi komponen pendidikan: adaptif, teori kejuruan, praktik dasar profesi, dan praktik keahlian profesi (Wahyu, 1996).
Pelaksanaan pembelajaran komponen pendidikan adaptif, dan teori kejuruan menjadi tanggung jawab sekolah. Komponen pendidikan praktik dasar profesi dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara sekolah dengan dunia usaha/industri pasangannya, sedangkan komponen pendidikan praktik keahlian profesi menjadi tanggung jawab institusi pasangan masing-masing sekolah dalam pelaksanaan PSG.
Kebijakan tersebut muncul karena disadari bahwa penguasaan keahlian profesional yang sebenarnya hanya dapat dicapai melalui kerja nyata di tempat kerja yang sebenarnya dan bukan di sekolah. Sekolah mampu memberikan kemampuan dasar kejuruan yang kuat, sehingga dengan bekal kemampuan dasar kejuruan yang kuat dapat membantu siswa dalam mendalami pelatihan-pelatihan kerja yang lebih kompleks dan spesifik di dunia kerja. Dengan demikian, kemitraan SMK dengan dunia usaha dan industri bukan lagi merupakan hal penting, tetapi merupakan keharusan (Djojonegoro, 1997).
Suatu hal yang perlu dicermati oleh sekolah dan dunia usaha yaitu adanya perbedaan sistem nilai yang berlaku pada kedua lembaga tersebut. Di sekolah umumnya hasil kerja dinilai dengan angka 0-10 atau 10-100, resiko gagal masih ditolerir, toleransi penggunaan waktu agak longgar, kegagalan dan keterlambatan tidak selalu diartikan sebagai kerugian, semangat dan motivasi siswa tergantung kecakapan guru, sulit membentuk etos kerja karena lingkungan sekolah santai, lamban mengikuti kemajuan Ipteks, lingkungan teori, dan praktik yang dilakukan masih merupakan simulasi. Di lingkungan dunia usaha/industri hasil pekerjaan diukur dengan diterima atau ditolak, resiko kegagalan bisa fatal berarti rugi uang dan reputasi rusak, penggunaan waktu yang ketat, kegagalan dan keterlambatan dianggap/sebagai kerugian, lingkungan kerja memberi kesempatan setiap orang untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas kerjanya, kondisi mendorong membentuk etos kerja, lebih cepat mengikuti kemajuan Ipteks, lingkungan kerja dan praktik yang dilakukan berorientasi pasar (Djojonegoro, 1997).
Mengingat adanya perbedaan yang mendasar antara sistem nilai yang berlaku di sekolah dan dunia kerja, maka sekolah hendaknya benar-benar mempersiapkan siswanya sebelum masuk dunia kerja. Persiapan tersebut meliputi pengetahun kerja, keterampilan kerja, sikap/budaya kerja, dan harus mencari informasi tentang kebutuhan akan industri pasangannya tentang kemampuan dasar kerja yang harus dikuasai siswa sebelum diterjunkan dalam praktik di dunia kerja.
Untuk menjembatani komunikasi antara kedua lembaga tersebut, perlu diaktifkan lembaga perantara, seperti: (1) Majelis Pendidikan Kejuruan Tingkat Nasional (MPKN), (2) Majelis Pendidikan Kejuruan Tingkat Propinsi (MPKP), dan (3) Majelis Sekolah Tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (MS) (Sunaryo, 1996).
Menurut Slameto (1993) dalam rangka menyukseskan pembangunan perlu adanya kerja sama yang erat dan permanen antara dunia pendidikan kejuruan dan dunia usaha pada umumnya dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang cakap dan terampil bagi keperluan pembangunan di berbagai bidang tanpa merugikan dunia usaha. Bahkan dengan kerja sama ini diharapkan memiliki nilai tambah segi tiga antara dunia usaha, sekolah dan peserta didik itu sendiri.
Nilai tambah bagi dunia usaha adalah, (1) dapat mengetahui secara tepat kualitas peserta didik yang belajar dan bekerja di perusahaan, (2) pada batas-batas tertentu selama masa pendidikan peserta didik adalah tenaga kerja yang dapat memberi keuntungan, (3) selama proses pendidikan melalui bekerja di industri, peserta didik lebih mudah diatur dalam disiplin, seperti kepatuhan terhadap aturan perusahaan, (4) dunia usaha dapat memberi tugas kepada peserta didik untuk mencari ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang relevan, dan (5) memberi kepuasan bagi dunia usaha karena ikut serta menentukan hari depan bangsa melalui pendidikan sistem ganda.
Nilai tambah bagi sekolah adalah lebih terjaminnya pencapaian: (1) tujuan pendidikan untuk memberi keahlian profesional bagi peserta didik, (2) tanggungan biaya pendidikan menjadi ringan, (3) terdapat kesesuaian antara program pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja, dan (4) memberi kepuasan bagi penyelenggara pendidikan.
Nilai tambah bagi peserta didik adalah: (1) hasil belajar akan lebih bermakna, karena setelah tamat mereka memiliki keahlian sebagai bekal untuk mengembangkan diri secara berkelanjutan, (2) waktu untuk mencapai keahlian profesional menjadi singkat, (3) keahlian profesional yang diperoleh melalui PSG dapat mengangkat harga dan percaya diri tamatan, yang selanjutnya dapat mendorong mereka untuk meningkatkan keahlian profesionalnya pada tingkat yang lebih tinggi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994).
Secara empiris hasil penelitian Wahyu (1996) menunjukkan bahwa (1) kondisi pengajaran di SMK dalam rangka PSG masih kurang memadai, disebabkan karena kurangnya sumber belajar, fasilitas praktik, dan ruang belajar, (2) metode pengajaran yang digunakan oleh guru termasuk dalam kategori baik, dan (3) hasil pengajaran yang dicapai juga termasuk kategori baik.
3. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif kuantitatif karena berupaya memberikan atau mendeskripsikan fenomena sosial yang ada di lapangan khususnya yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan PSG. Pelaksanaan penelitian berlangsung pada bulan Juni sampai dengan Agustus 1999.
Populasi penelitian ini adalah seluruh DUDI yang menjadi mitra kerja SMK dalam rangka PSG di Kota Kendari, seluruh guru kejuruan dan siswa SMK yang sedang PSG. Penentuan sampel dilakukan secara purposive sampling. Pada tahap awal ditentukan tiga buah sekolah pada kelompok yang berbeda. Selanjutnya, sampel responden dipilih masing-masing DUDI sebanyak 82 buah/responden yang sedang ditempati PSG, Guru Kejuruan sebanyak 64 orang, dan 187 siswa yang sedang mengikuti PSG.
Data dikumpulkan melalui teknik, (1) angket yang diisi langsung oleh responden, (2) wawancara tidak terstruktur, dan (3) pengamatan terhadap pelaksanaan PSG baik di sekolah maupun di dunia kerja. Kedua teknik disebutkan terakhir merupakan pendukung yang hasilnya digunakan dalam interpretasi hasil penelitian.
Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk mengetahui tanggapan responden (DUDI, Guru, dan siswa), sedangkan untuk data hasil wawancara dan pengamatan dianalisis secara kualitatif.
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Tanggapan DUDI Terhadap Pelaksanaan PSG
Tanggapan DUDI tehadap pelaksanaan PSG ini diajukan tujuh indikator, meliputi (1) kehadiran siswa di DUDI (67,07% baik), (2) keterampilan dasar siswa (93,90% baik), (3) kerajinan siswa bekerja/belajar (67,07% baik), (4) proses adaptasi siswa (67,07% baik), (5) jangka waktu pelaksanaan PSG (78,05% baik), (6) kehadiran guru pembimbing (71,95% baik), dan (7) koordinasi antara DUDI dan sekolah (71,95% baik). Secara keseluruhan, dari tujuh indikator tersebut menunjukkan bahwa rata-rata (73,87%) menyatakan sudah memuaskan atau berada pada kategori cukup baik.
Beberapa indikator keterlibatan DUDI tehadap pelaksanaan PSG ini, meliputi (1) proses identifikasi rencana pelaksanaan PSG, (2) pembekalan siswa, (3) sosialisasi kegiatan kepada sekolah, (4) perencanaan yang sistematis tentang program kegiatan siswa PSG di lapangan, (5) penerapan aturan khusus kepada siswa di tempat kerja, (6) penerimaan siswa apa adanya untuk siap dididik di DUDI, (7) penerapan sangsi pemecatan kepada siswa yang tidak mentaati peraturan di perusahaan tempat kerja, (8) pimpinan perusahaan mengadakan pertemuan khusus dengan siswa, (9) dunia usaha menanggung konsumsi siswa, (10) memberikan upah kepada siswa, dan (11) prakarsa dalam memberi saran perbaikan kurikulum pada sekolah.
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa 49,46% DUDI telah melakukan hal positif, 92,68% menyatakan tidak pernah menolak siswa calon peserta PSG, dan tidak ada yang pernah menerapkan sangsi pemberhentian terhadap siswa yang melakukan PSG.
Upaya pimpinan perusahaan mengadakan pertemuan khusus dengan siswa peserta PSG, 60,98% menyatakan pernah melakukan (6,10% melakukan secara individual dan 54,88% pertemuan kelompok), 32,93% DUDI telah menanggung konsumsi siswa peserta PSG, 28,05% telah memberikan upah kepada siswa (6,10% upah tetap tiap bulan, 10,98% upah tetap tiap hari/minggu, dan 10,98% upah secara insidental).
Data tersebut membuktikan bahwa peran DUDI semakin tinggi dalam upaya menyukseskan program PSG sekaligus pengembangan tenaga terampil atau SDM yang berkualitas. Selanjutnya, mereka mengajukan saran sehubungan dengan pelaksanaan PSG, yaitu: (1) perlu adanya pertemuan antara Kepala Sekolah dengan Pimpinan Perusahaan, (2) jangka waktu pelaksanaan PSG perlu diperpanjang, (3) Guru pembimbing dan karyawan harus menerapkan kedisiplinan yang tinggi, (4) keterampilan dasar harus ditingkatkan sebelum PSG, (5) perlu sosialisasi lebih intensif baik oleh sekolah maupun DUDI sebelum pelaksanaan PSG, dan (6) frekuensi kehadiran guru di lapangan perlu ditingkatkan.
Data itu juga menunjukkan bahwa 100% DUDI menyatakan telah melakukan penilaian kepada peserta PSG dengan bentuk pengamatan, secara lisan, dan secara tertulis. Pelaporan DUDI secara tertulis kepada Kepala Sekolah dalam proses kegiatan PSG 15,85% menyatakan melakukan secara terjadwal, 67,07% menyatakan secara insidental, dan 17.07% menyatakan tidak pernah memberikan laporan. Untuk penilaian akhir program 71,95% menyatakan telah memberikan penilaian dan 28,05% menyatakan tidak memberikan laporan penilaian akhir. Pada akhir program PSG, 39,02% pihak DUDI menyatakan telah memberikan piagam penghargaan kepada siswa.
Ada empat indikator yang diajukan dalam rangka keterlibatan dunia usaha/industri dalam proses pemasaran lulusan. Keempat indikator dimaksud yaitu: (1) rekruitmen siswa yang bekerja pada DUDI pasca PSG (32,93%), (2) pemberian informasi kepada siswa PSG tentang formasi di DUDI lain (67,07%), (3) informasi kepada lembaga lain tentang ketersediaan tenaga kerja lulusan PSG dari lembaganya (28,05%), (4) dan bantuan modal/keterampilan kepada lulusannya untuk mendiri (17,07%).
4.4.2 Tanggapan Guru Terhadap Pelaksanaan Pembekalan Siswa di SMK dan Pelaksanaan PSG di DUDI
Pendapat guru menunjukkan bahwa pemberian pembekalan khusus kepada siswa telah dilaksanakan melalui kerja sama antara sekolah dengan DUDI; Sosialisasi keterampilan yang ada di dunia usaha kepada siswa telah dilaksanakan, 72,31% responden telah melaksanakan praktik micro teaching sebelum pelaksanaan PSG, 86,15% telah melaksanakan identifikasi kebutuhan DUDI sebelum PSG, dan 72,31% menyatakan telah mengajarkan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan yang ada di lapangan.
Beberapa saran yang diajukan oleh guru sehubungan dengan pelaksanaan PSG yaitu (1) pembekalan perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan DUDI, (2) pemilihan DUDI yang memperhatikan kesejahteraan siswa, (3) penambahan jangka waktu pelaksanaan PSG di DUDI, (4) pelibatan semua guru kejuruan dalam proses penempatan siswa di DUDI, (5) pemindahan waktu pelaksanaan PSG di Kelas III sehingga siswa cukup bekal keterampilan dasar dan sekaligus mempermudah siswa secara langsung terjun ke dunia kerja begitu tamat, (6) penempatan sebaiknya tidak di instansi pemerintah, (7) motif dan model baju siswa PSG perlu diperhatikan supaya menarik, dan (8) penempatan siswa disesuaikan dengan jurusan dan kebutuhan DUDI.
Menurut pandangan guru bahwa pelaksanaan PSG di DUDI sudah cukup baik terbukti 76,59% responden menyatakan pelaksanaannya sudah memuaskan. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menyatakan PSG belum berhasil dan tidak membawa manfaat, sebagaimana tanggapan positif DUDI sebelumnya.
4.4.3 Tanggapan Siswa Terhadap Pelaksanaan Pembelajaran di SMK dan Pelaksanaan PSG di DUDI
Secara keseluruhan keempat indikator yang diajukan menunjukkan bahwa 69,79% siswa menyatakan pelaksanaan pembelajaran di sekolah sudah memuaskan. Meskipun demikian, para siswa dengan penuh antusias menyatakan agar lebih meningkatkan kualitas program PSG, dengan mengajukan saran perbaikan: (1) Kurikulum/materi disusun bersama antara sekolah dengan DUDI, (2) penambahan peralatan/media pembelajaran, (3) penambahan frekuensi pemberian latihan kepada siswa, (4) penambahan frekuensi jam praktik, dan (5) penempatan siswa disesuaikan dengan jurusan atau kebutuhan DUDI.
Indikator kesiapan siswa seperti kesiapan fisik/mental, penguasaan keterampilan, dan pembekalan pihak sekolah, secara keseluruhan hasilnya lebih dari 90%. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan siswa dalam menghadapi program PSG cukup mantap. Demikian pula, pengakuan siswa bahwa pelatihan yang diselenggarakan pra PSG oleh sekolah bekerja sama dengan DUDI sangat bermanfaat karena rangkaian kegiatan/materi pelatihan terkait langsung dengan aktivitas yang ada di DUDI.
Tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran di DUDI, secara keseluruhan dari enam indikator yang diajukan menunjukkan bahwa 21,48% menyatakan pelayanannya sangat memuaskan, 68,18% menyatakan memuaskan dan sisanya 10,34% tidak memuaskan. Data tersebut didukung oleh pengakuan siswa bahwa 73,26% menyatakan mudah menguasai keterampilan yang ada dan hanya 26,74% menyatakan mengalami kesulitan.
Selanjutnya siswa mengajukan saran sehubungan dengan pelaksanaan PSG ini yaitu: (1) peningkatan bimbingan dari pihak DUDI, (2) penempatan disesuaikan dengan jurusan, (3) pelaksanaan PSG diperpanjang waktunya, dan (4) Guru Pembimbing meningkatkan frekuensi kehadirannya di DUDI.
Pernyataan tersebut merupakan suatu fakta bahwa dari tiga subsampel sependapat bahwa pelaksanaan PSG sudah berjalan cukup baik. Meskipun demikian, masih terdapat kelemahan yang memerlukan perhatian dari tiga komponen yang terlibat. Pembenahan dimaksud adalah kurikulum harus lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan DUDI serta harus didukung oleh perangkat media pendidikan/pembelajaran yang dapat mempercepat penguasaan keterampilan siswa, demikian pula perhatian lebih serius dari pihak guru pembimbing dan karyawan setempat pada saat siswa berada di lapangan.
4.2 Pembahasan
Pelaksanaan PSG menurut pespektif DUDI sudah cukup baik, penandanya yaitu 18,99% responden (DUDI) menyatakan sangat memuaskan, 73,87% menyatakan memuaskan. Pernyataan tersebut didukung oleh fakta di lapangan bahwa untuk Kota Kendari Tahun Pelajaran 1997 ketiga SMK yang telah melaksanakan PSG masing-masing: (1) SMK Negeri 1 (Kelompok Bisnis dan Manajemen), berhasil menjalin mitra usaha sebanyak 47 buah perusahaan, melibatkan sebanyak 227 orang siswa dan berhasil memasarkan lulusannya sebanyak 40 orang, (2) SMK Negeri 2 (Kelompok Teknologi dan Industri), berhasil menjalin mitra usaha sebanyak 29 buah perusahaan, melibatkan sebanyak 224 orang siswa, dan berhasil memasarkan lulusannya sebanyak 30 orang, dan (3) SMK Negeri 3 (Kelompok Pariwisata), berhasil menjalin mitra usaha sebanyak 49 buah perusahaan dan melibatkan sebanyak 103 orang siswa, dan berhasil memasarkan lulusannya sebanyak 81 orang. Kenyataan tersebut menunjukkan suatu awal yang baik dari pelaksanaan PSG. Jika lebih dicermati tentang kekurangan dan kelebihan terhadap pelaksanaannya selama ini, maka prestasi tersebut akan dapat ditingkatkan.
Keterlibatan DUDI dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program PSG menunjukkan bahwa 49,46% menyatakan telah melakukannya. Meskipun mereka menyadari bahwa belum melaksanakan bimbingan secara maksimal, tetapi tetap mengakui bahwa pelaksanaan PSG merupakan suatu hal yang positif baik bagi DUDI maupun bagi siswa dan sekolah.
Pelasanaan PSG ini dapat berjalan karena adanya kesadaran dan manfaat yang diperoleh dari ketiga komponen utama (DUDI, guru, dan siswa) yang terlibat di dalamnya. Bagi DUDI dapat memperoleh tenaga kerja yang mudah diatur karena mereka sebagai tenaga kerja baru umumnya taat pada aturan dan tekun bekerja, bagi sekolah tanggungan biaya menjadi ringan karena selama PSG biaya rutin sekolah dapat ditekan sebab proses pembelajaran tidak belangsung di sekolah, bagi siswa hasil belajar akan lebih bermakna dan waktu untuk mencapai keahlian profesional menjadi singkat dan relatif murah.
Tanggapan positif dunia usaha tersebut diperkuat dengan pernyataan bahwa pada umumnya (92,68%) mereka tidak pernah menolak calon siswa PSG. Demikian pula penerapan sangsi pemberhentian siswa yang sedang melakukan PSG tidak pernah terjadi. Hal ini merupakan salah satu komitmen mereka dalam mendidik calon tenaga kerja cukup tinggi yaitu dengan menempatkan diri sebagai pendidikan atau pelatih.
Kesungguhan pihak perusahaan dalam membimbing siswa, juga terlihat dari adanya upaya pimpinan DUDI mengadakan pertemuan khusus dengan siswa peserta PSG (baik secara individual maupun kelompok) untuk mengetahui aspirasi mereka, dalam hal ini terjadi proses bimbingan. Demikian pula keterlibatan mereka menanggung konsumsi siswa peserta PSG, bahkan di antara mereka (28,05%) telah memberi upah (6,10% memberi upah tetap tiap bulan, 10,98% memberi upah tetap tiap hari/minggu, dan 10,98% memberi upah secara insidental). Dengan demikian, kehadiran siswa memiliki dampak positif bagi DUDI, demikian pula sebaliknya para siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga mendapatkan uang.
Dalam penelitian ini terjadi efisiensi eksternal dan internal, karena dalam waktu singkat melalui proses belajar meniru atau mencontoh dengan memanfaatkan segenap sarana dan prasarana secara maksimal, siswa yang melakukan PSG (magang) dapat menguasai keterampilan. Dalam hal tanggapan DUDI pada indikator penyusunan program, dan pelaksanaan pendidikan cukup positif dan cenderung bersedia terlibat langsung. Kesedian DUDI dalam hal ini, terkait langsung dengan upaya memelihara dan meningkatkan mutu produksinya, karena disadari bahwa siswa calon PSG akan menjadi tenaga kerja mereka yang dapat berpengaruh terhadap kualitas produksi. Meskipun demikian disadari bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki untuk lebih memaksimalkan program ini khususnya koordinasi antara pihak sekolah dan DUDI, termasuk peningkatan bekal keterampilan dasar siswa pra PSG.
Pihak DUDI telah ikut serta melakukan penilaian kepada peserta PSG, bahkan pada akhir program 39,02% lembaga menyatakan telah memberikan piagam penghargaan kepada siswa peserta PSG. Demikian pula, dalam pemasaran lulusan 36,28% di antara mereka telah melakukannya, baik melalui perekrutan secara langsung atau pemberian informasi kepada siswa tentang adanya formasi ke instansi lain atau pemberian infomasi kepada instansi lain tentang ketersediaan tenaga dari alumni PSG bimbingannya.
Relatif rendahnya partisipasi DUDI dalam rangka pemasaran outputnya disebabkan oleh terbatasnya kemampuan menyerap tenaga kerja, kurangnya minat siswa untuk bekerja sebagai wirausahawan, terjadinya ketidakseimbangan antara besarnya lulusan dengan daya tampung DUDI untuk tenaga kerja, dan kurangnya penguasaan keterampilan oleh siswa, akhirnya mereka tidak dapat bekerja di lembaga itu dan belum siap bekerja di luar pada pekerjaan sejenis.
Kesiapan sekolah dalam pembekalan siswa terhadap keterampilan praktis sebelum PSG menunjukkan bahwa para guru/sekolah telah dilaksanakan melalui kerja sama antara sekolah dengan DUDI, demikian pula sosialisasi keterampilan yang ada di lapangan kepada siswa dan identifikasi kebutuhan sebelum program PSG berjalan, sehingga apa yang diajarkan menurut guru sudah relevan dengan kebutuhan lapangan. Meskipun demikian, terdapat jurusan di SMK yang tidak sesuai dengan kebutuhan DUDI di daerah sehingga menyulitkan bagi siswa. Kenyataan ini terjadi karena kurang mantapnya proses identifikasi kebutuhan lingkungan dan masyarakat dalam rangka pembukaan program studi tersebut.
Beberapa saran yang diajukan oleh guru perlu dicermati seperti pembekalan perlu ditingkatkan, penambahan jangka waktu pelaksaan PSG, dan penempatan siswa tidak di instansi pemerintah dengan harapan siswa benar-benar dipersiapkan untuk menjadi wirausahawan baru, sehingga setelah tamat tidak lagi mengharap untuk menjadi pegawai negeri. Tanggapan guru terhadap pelaksanaan PSG di DUDI cukup baik, terbukti semakin meningkatnya motivasi siswa mengikuti program ini dan semakin meningkatnya minat tamatan SLTP memasuki SMK.
Meskipun demikian, pelaksanaan PSG tidak luput dari masalah khususnya setelah siswa terjun langsung ke dunia kerja. Secara umum, permasalahan dimaksud lahir karena masih kurangnya pemahaman antara kedua belah pihak terhadap hakikat dari pelaksanaan PSG ini atau kurang menyadari fungsinya sebagai komponen dalam sistem ini. Oleh karena itu, kedua belah pihak (sekolah dan dunia usaha) masih harus berusaha mencari pola yang lebih baik untuk dijadikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi selama ini.
Sistem pembagian kerja di antara komponen yang ada pada kenyataannya telah terealisasi dalam program PSG, karena nampak adanya saling pengakuan dan pemahaman kedua belah pihak antara sekolah dan DUDI sehingga dapat mempermudah proses adaptasi siswa terhadap keterampilan yang ada di lapangan.
Jika PSG dipandang sebagai suatu sistem dan semua komponen telah menyadari fungsinya masing-masing untuk dapat memaksimalkan fungsi sistem, maka akan terciptanya suatu bentuk kerja sama yang permanen antara DUDI dengan sekolah setelah mereka mendapatkan benang merah yang dapat mengikatkan antara keduanya dengan kesadaran saling membutuhkan. Akhirnya, melalui kerja sama ini dapat membuahkan output yang optimal yaitu terciptanya SDM yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam pembangunan.
4. Simpulan dan Saran
4.1 Simpulan
1. Pelaksanaan PSG menurut dunia usaha dan industri telah cukup baik, mereka telah terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program, serta telah ikut dalam proses evaluasi dan pemasaran lulusan. Oleh karena itu, DUDI menyambut positif kelangsungan program ini.
2. Menurut pihak sekolah, pembekalan siswa terhadap keterampilan praktis sebelum PSG telah dilaksanakan melalui kerja sama antara sekolah dengan dunia usaha dan industri, demikian pula identifikasi dan sosialisasi keterampilan yang dibutuhkan kepada siswa sebelum program PSG berjalan, sehingga apa yang diajarkan sudah relevan dengan kebutuhan DUDI, dan pelaksanaannya sudah berjalan cukup baik.
3. Bagi siswa peserta PSG, pelaksanaan pembelajaran di sekolah selama ini sudah cukup baik, meskipun mereka mengakui perlunya pembenahan kurikulum melalui koordinasi antara sekolah dengan DUDI, penambahan jam praktik, demikian pula pengakuan siswa bahwa pelatihan yang dilakukan pra PSG telah ikut membantu percepatan proses adaptasi terhadap kegiatan pembelajaran dan bekerja di dunia usaha dan industri.
4.2 Saran
Untuk lebih mengoptimalkan program PSG maka (1) perlu ditingkatkan koordinasi lebih intensif antara kedua belah pihak khususnya dalam mempertemukan kebutuhan pihak DUDI dengan kemampuan pihak sekolah, (2) perlu ditingkatkan frekuensi kunjungan lapangan bagi siswa kelas awal, sehingga mereka dapat dengan mudah beradaptasi dan termotivasi untuk menguasai keterampilan sesuai dengan kebutuhan lapangan, dan (3) untuk memupuk semangat kewirausahaan siswa, maka pelaksanaan PSG sebaiknya terbatas pada DUDI.
________________________________________
Pustaka Acuan
Bukit, Masriani. 1997. Implementasi Pendidikan Sistem Ganda Sebagai Pembaruan Kurikulum. Bandung: Disertasi PPS IKIP Bandung tidak diterbitkan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Link and Match. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Konsep Sistem Ganda pada Pendidikan Menengah Kejuruan di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Pendidikan Sistem Ganda Strategi Operasional Link and Match pada Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djojonegoro, Wardiman. 1997. Sambutan Menteri Pendidiukan dan Kebudayaan pada Pembukaan Gebyar SMK ke-2. Kendari 13 April 1997.
Pakpaham, Jorlin. 1994. "Sistem Ganda pada Sekolah Menengah Kejuruan: Implementasi Link and Match dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Teknologi dan Kejuruan". Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Forum Komunikasi FPTK se Indonesia di Surabaya, 28 November 1994.
Pakpaham, Jorlin. 1995. Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Sistem Ganda pada Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Ditdikmenjur.
Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1990. Tentang Pendidikan Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rachman, J.A. 1997. Laporan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Tenggara pada Pembukaan Gebyar SMK ke-2. Kendari 13 April 1997.
Raharjo, Slamet. 1989. Magang Sebagai Salah Satu Sitem Belajar Asli Bagaimana Aspek-aspeknya. Disertasi FPS IKIP Bandung, tidak diterbitkan.
Schippers, U dan Patriana, Djadjang M. 1994. Pendidikan Kejuruan di Indonesia. Bandung: Angkasa.
Slameto, P.H. 1993. "Kontribusi Dunia Usaha Terhadap Pendidikan Menengah Kejuruan Dalam Upaya Mempersiapkan Tamatan yang Berkualitas". Makalah Disajikan dalam Seminar Pendidikan, IKIP YP. Klaten 17 Nopember 1993.
Sudjana, D. 2000. Strategi Pembelajaran Dalam Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Falah Production.
Sunaryo. 1996. "Tanggapan Dunia Usaha Terhadap Program Link and Match". Jurnal Kependidikan. 26 (1): 25-36.
Surunuddin. 1997. Laporan Ketua Kamar Dagang dan Industri Dati I Sultra pada Pembukaan Gebyar SMK ke-2. Kendari 13 April 1997.
Wahyu, Djatmiko Istanto. 1996. "Pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda pada Sekolah Menengah Kejuruan Teknologi". Jurnal Kependidikan. 26 (1): 15-24.

Rabu, 26 Agustus 2009

PENGEMBANGAN PROGRAM KEAHLIAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

PENGEMBANGAN PROGRAM KEAHLIAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN DI SMKN 1 PUNGGING MOJOKERTO
(Oleh: Herianto)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arah dan strategi pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir, tampaknya tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Akan tetapi dengan adanya perluasan kesempatan belajar di SMK cenderung menyebabkan bertambahnya pengangguran terdidik dari pada bertambahnya tenaga kerja yang produktif. Padahal investasi dan pembiayaan terbesar yang dilakukan pemerintah dalam pendidikan kejuruan terletak pada sistem SMK.
Hal ini telah mengundang kritik tajam terhadap penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Kritik itu tentu saja beralasan karena data menunjukkan bahwa proporsi penganggur dari lulusan berpendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih besar dibanding dengan proporsi penganggur dari lulusan pendidikan yang lebih rendah.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Depdiknas (Direktorat Dikmenjur) sejak tahun 1995 memprakarsai dibentuknya Satuan Tugas Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan Nasional yang keanggotaannya melibatkan seluruh komponen dari kalangan dunia usaha/industri, asosiasi profesi, birokrat, peneliti dan akademisi, LSM, dan teknokrat (1997). Satuan tugas ini bertanggung jawab dalam merumuskan Kebijakan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan Nasional. Salah satu Pedoman Pelatihan Kejuruan yang telah dirumuskan adalah Keterampilan Menjelang 2020 Untuk Era Global. Tentu saja, dilihat dari sudut pandang pragmatis, hal ini merupakan suatu kemajuan dalam tataran politik pendidikan nasional. Namun demikian, banyak pengamat pendidikan meragukan substansinya, mengingat struktur pendidikan dan pelatihan industri yang dikemas cenderung lebih bersifat makro dan terkesan sangat teoritik tanpa memperhitung- kan dengan cermat bagaimana gambaran potensi SMK di daerah-daerah dengan kualitas pendidikan yang relatif rendah dan tingkat penyebaran yang tidak merata.
Bahkan isu yang berkembang dan mengemuka dewasa ini adalah terjadinya kesenjangan antara sekolah dengan kehidupan nyata di masyarakat. Hal ini berarti bahwa yang dipelajari di sekolah, merupakan hal lain yang terjadi di masyarakat, sehingga disinyalir sekolah semakin menjauhkan peserta didik dengan dunia nyata, tertutama di daerah pedesaan. Oleh karena itu, agar peserta didik dapat mengenal dengan baik dunianya dan dapat hidup wajar di masyarakat pedesaan, perlu dibekali beragam kompetensi yang relevan dengan kebutuhan lapangan kerja. Salah satu kompetensi yang perlu diberikan kepada peserta didik adalah kompetensi yang berkaitan dengan bidang pertanian.
Kabupaten Mojokerto merupakan daerah yang agraris dengan potensi lahan pertanian sangat luas. Potensi tersebut harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan produk dan jasa pertanian yang diperlukan bagi kebutuhan masyarakat. Salah satu alternatif yang sangat tepat dilakukan adalah mengembangkan SMK Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian. Dengan mengembangkan teknologi hasil pertanian secara tidak langsung akan berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Mojokerto.
Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian merupakan program keahlian yang belum ada di SMK-SMK Kabupaten Mojokerto. Program keahlian tersebut, memiliki peluang yang sangat besar untuk dikembangkan, dengan beberapa pertimbangan antara lain: (1) Mojokerto merupakan daerah agraris yang mayoritas penduduknya sebagai petani, (2) SDM yang ahli dalam teknologi hasil pertanian sangat minim, (3) peluang kerja untuk mengembangkan hasil pertanian sangat besar, dan (4) tenaga kerja yang ahli dalam teknologi hasil pertanian sangat dibutuhkan.
SMKN 1 Pungging Mojokerto termasuk salah satu SMK yang berpeluang besar untuk mengembangkan Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian. Hal ini disebabkan karena: (1) SMKN 1 Pungging terletak di daerah pegunungan dengan kualitas tanah di sekitarnya sangat subur, (2) potensi lahan pertanian di sekitarnya sangat luas, (3) mayoritas penduduknya sebagai petani, (4) kebutuhan tenaga kerja yang profesional dalam bidang pertanian sangat dibutuhkan, dan (5) mendapat dukungan dari pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Dinas Pertanian Kabupaten Mojokerto. Di samping lima hal tersebut, SMKN 1 Pungging Mojokerto masih belum mengembangkan Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dapat dimaknai bahwa Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian sangat berpeluang besar untuk dikembangkan di Kabupaten Mojokerto, terutama di SMKN 1 Pungging Mojokerto.

B. Topik Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan dalam makalah ini adalah belum adanya Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian di SMKN 1 Pungging Mojokerto. Belum adanya Program Keahlian tersebut, secara tidak langsung akan mempengaruhi daya serap lulusan SMKN 1 Pungging dalam mengembangkan lapangan pekerjaan yang baru, terutama lapangan kerja di daerah pedesaan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian yang relevan dengan kebutuhan masyarakat pedesaan di Kabupaten Mojokerto.

C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengembangkan Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian di SMKN 1 Pungging Mojokerto. Pengembangan ini, dapat dijadikan sebagai alternatif untuk membuka Program Keahlian baru di SMKN 1 Pungging secara khusus, dan SMK-SMK di Mojokerto secara umum.

II. LANDASAN PEMIKIRAN
A. Konsep Dasar Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendidikan umum, ditinjau dari kriteria pendidikan, substansi pelajaran, dan lulusannnya. Kriteria yang harus dimiliki oleh pendidikan kejuruan adalah: (1) orientasi pada kinerja individu dalam dunia kerja; (2) jastifikasi khusus pada kebutuhan nyata di lapangan; (3) fokus kurikulum pada aspek-aspek psikomotorik, afektif, dan kognitif; (4) tolak ukur keberhasilan tidak hanya terbatas di sekolah; (5) kepekaan terhadap perkembangan dunia kerja; (6) memerlukan sarana dan prasarana yang memadai; dan (7) adanya dukungan masyarakat (Finch & Crunkilton, 1984).
Sementara itu, Nolker dan Shoenfeldt (1983) menyatakan bahwa dalam memilih subtansi pelajaran, pendidikan kejuruan harus selalu mengikuti perkembangan IPTEK, kebutuhan masyarakat, kebutuhan individu, dan lapangan kerja. Ditinjau dari lulusannya, Bulter (1979) menjelaskan bahwa kriteria lulusan pendidikan kejuruan harus memiliki kecakapan: (1) minimal, pengetahuan dan keterampilan khusus untuk jabatannya; (2) minimal, pengetahuan dan keterampilan sosial, emosional, dan fisik dalam kehidupan sosial; (3) minimal, pengetahuan dan keterampilan khusus dasar; dan (4) maksimal, kejujuran umum, sosial, serta pengetahuan dan keterampilan akademik, untuk jabatan, individu, dan masa depannya.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dimaknai bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang berfungsi untuk membekali peserta didik agar menjadi manusia produktif, mampu bekerja mandiri, serta mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan dunia industri, termasuk lapangan kerja yang ada di pedasaan.
B. Tinjauan Filosofis
Secara filosofis, dalam memandang pendidikan kejuruan, terdapat dua pertanyaan yang menyangkut dasar pengembangan program pendidikan kejuruan: apa yang harus diajarkan, dan bagaimana harus mengajarkan (Calhoun dan Finch, 1982). Kedua pertanyaan tersebut mengundang jawaban tentang prioritas yang ditentukan. Menurut Calhoun dan Finch, asumsi dan prinsip-prinsip fundamental cenderung menyatukan dan mengarahkan perencanaan pendidikan kejuruan. Calhoun dan Finch (1982) menegaskan bahwa sumber prinsip-prinsip fundamental pendidikan kejuruan adalah individu dan perannya dalam suatu masyarakat demokratik, serta peran pendidikan dalam transmisi standar sosial. Dengan demikian, tujuan puncak sistem pendidikan kejuruan adalah memaksimalkan kesempatan individu untuk belajar sepanjang hayatnya dan mencapai kehidupan yang baik.
Chambers dalam Sonhadji (2000) menyatakan bahwa martabat yang mulia harus dibina melalui mental dan rasionalitas dalam pendidikan. Dalam hal ini, Chambers berpendapat bahwa proses pendidikan harus ditekankan pada aspek mental dan rasionalitas. Dengan perkataan lain, pendidikan merupakan aktivitas yang bernilai intrinsik, yaitu usaha pemberian prespektif kognitif dan rasionalitas kepada peserta didik, agar peserta didik memiliki martabat mulia.
Dari pandangan-pandangan di atas, dapat dimaknai bahwa sistem pendidikan kejuruan harus menjamin terwujudnya masyarakat yang memiliki kehidupan lebih baik, dan martabat yang mulia, melalui proses mental dan rasionalitas.

C. Tinjauan Sosiologis
Calhoun, Light, dan Keller (1997) menyatakan bahwa pendidikan memiliki dua fungsi pokok, yaitu fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes pendidikan adalah mengajar matapelajaran spesifik bagi peserta didik, seperti membaca, menulis, aritmatik, dan keterampilan akademik lainnya. Sedangkan fungsi laten adalah mengajar keterampilan dan sikap sosial, seperti disiplin diri, kerjasama dengan orang lain, mentaati hukum, dan bekerja keras untuk mencapai suatu tujuan. Lebih rinci lagi, Calhoun, Light, dan Keller (1997) memaparkan tujuh fungsi sosial pendidikan, yaitu: (1) mengajar keterampilan, (2) mentransmisikan budaya, (3) mendorong adaptasi lingkungan, (4) membentuk kedisiplinan, (5) mendorong kerja kelompok, (6) meningkatkan perilaku etik, dan (7) memilih bakat dan memberi penghargaan prestasi.
Konsep pendidikan, ditinjau dari pandangan sosiologis, juga dikemukakan oleh Rogers, Burdge, Korsching, dan Donnermeyer (1988). Rogers, dkk. mendefinisikan pendidikan sebagai proses di mana suatu budaya (culture) secara formal ditransmisikan kepada peserta didik. Budaya di sini diartikan sebagai aspek-aspek material dan non material dari cara hidup yang dimiliki bersama dan ditrasmisikan di antara anggota suatu masyarakat. Dari pandangan ini, pendidikan mengacu pada setiap bentuk pembelajaran budaya yang berfungsi sebagai transmisi pengetahuan, mobilitas sosial, pembentukan jati diri, dan kreasi pengetahuan.
Dari pandangan-pandangan di atas, dapat disebutkan bahwa pendidikan adalah transmisi budaya dari generasi satu ke generasi berikutnya, yang memiliki fungsi manifes dan fungsi laten, untuk mewujudkan integrasi fungsional dan mempertahankan struktur sosial dalam suatu masyarakat.

D. Tinjauan Ekonomi
Kontribusi pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi terjadi melalui kemampuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang ada. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh investasi modal, tetapi juga tenaga kerja yang memiliki fleksibilitas dalam menguasai keterampilan baru untuk melaksanakan pekerjaan baru, sejalan dengan perubahan struktur ekonomi dan lapangan kerja (The World Bank, 1991). Sementara itu, Hicks (1992), dengan menggunakan data dari Bank Dunia, menyimpulkan bahwa negara-negara dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, memiliki tingkat income yang lebih tinggi.
Hicks (1992) menjelaskan bagaimana memahami kontribusi pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi, dengan cara mengetahui, sebab-sebab pertumbuhan serta proses pertumbuhan itu sendiri. Menurut Hicks, para ahli ekonomi mengidentifikasi tiga faktor produksi, yaitu lahan, tenaga kerja, dan modal. Dalam proses pertumbuhan ekonomi, lahan diasumsikan tidak mengalami perubahan. Sehingga, dua faktor kunci dalam pertumbuhan ekonomi adalah tenaga kerja dan modal.

E. Tinjauan Program Keahlian SMK di Kabupaten Mojokerto
Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto, terdapat sembilan (9) Bidang Keahlian untuk semua kelompok SMK di Mojokerto. Adapun Bidang Keahlian tersebut meliputi: (1) Teknik Mesin, (2) Teknik Elektro, (3) Teknik Bangunan, (4) Bisnis dan Manajeman, (5) Pariwisata, (6) Keperawatan, (7) Tata Kecantikan, (8) Tata Busana, dan (9) Telekomunikasi.
Data tersebut menunjukkan bahwa Bidang Keahlian Pertanian masih belum di kembangkan di Kabupaten Mojokerto. Bidang Keahlian Pertanian terdiri dari 5 (lima) program keahlian, di antaranya: (1) Budidaya Tanaman, (2) Budidaya Ternak, (3) Bididaya Ikan, (4) Teknologi Hasil Pertanian, dan (5) Mekanisasi Pertanian. Berdasarkan data tersebut, maka di Kabupaten Mojokerto sangat tepat apabila membuka program keahlian baru yang berkaitan dengan bidang pertanian. Akan tetapi dalam makalah ini lebih difokuskan pada pengembangan Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian di SMKN 1 Pungging Mojokerto.

III. MODEL PENGEMBANGAN
Strategi yang diajukan dalam model pengembangan Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian adalah sebagai berikut: (1) Analisis SWOT, (2) pembuatan proposal pengembangan Program Keahlian, (3) pendekatan ke industri pasangan, (4) persetujuan Kepala Dinas Pendidikan dan Dinas Pertanian, (5) penyerahan proposal ke Dikmenjur, dan (6) pembukaan program keahlian.

Keenam langkah tersebut hendaknya dilaksanakan secara penuh dengan melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat. Di samping itu, perlu sosialisasi kepada masyarakat tentang program keahlian yang sudah dikembangkan. Adapun tahapan langkah-langkah pengembangan dapat dilihat pada gambar 3.1 sebagai berikut.














Gambar 3.1 Langkah-langkah Pengembangan Program Keahlian
1. Pembuatan Proposal dengan analisa SWOT, yaitu menganalis kemungkinan dibukanya Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian di SMKN 1 Pungging Mojokerto.
2. Pendekatan pada Industri sebagai Institusi pasangan Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian, presentasi pelaksanaan Program Keahlian dan kesepakatan dengan MOU.
3. Persetujuan Kepala Dinas Pendidikan, Dinas Pertanian Kabupaten Mojokerto dan Bupati Mojokerto, dengan pernyataan diijinkan pembukaan Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian dan pernyataan kesanggupan pemberian Dana Sharing dari Pemerintah Daerah.
4. Penyerahan Proposal ke Dikmenjur Depdiknas Jakarta, dan pemberian ijin pembukaan Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian di SMKN 1 Pungging Mojokerto.

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Konsep dasar pendidikan kejuruan berfokus pada perumusan kompetensi riel yang mutlak harus dicapai oleh peserta didik dengan orientasi pada market driven dan life skill. Sasarannya adalah agar seluruh perencanaan program pendidikan dan pelatihan memiliki relevansi dan integrasi yang kuat dengan kecenderungan sinyal pasar kerja, sehingga peserta didik diharapkan dapat meraih kesempatan maksimal dalam memperebutkan lapangan kerja yang tersedia dan memiliki beragam kompetensi yang dapat digunakan untuk mengembangkan lapangan kerja yang baru.

A. Tantangan Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian
Dilihat dari perspektif perkembangan SMK, sekurang-kurangnya tiga dimensi pokok yang menjadi tantangan bagi SMK Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian, terutama dalam konteks regional.
1. Implementasi program keahlian Teknologi Hasil Pertanian harus berfokus pada pendayagunaan potensi sumber daya lokal, sambil mengoptimalkan kerjasama secara intensif dengan institusi pasangan (misalnya: dunia usaha, industri, asosiasi profesi, balai pelatihan industri, dan balai pelatihan tenaga kerja).
2. Pelaksanaan kurikulum Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian harus berdasarkan pendekatan yang lebih fleksibel sesuai dengan trend perkembangan dan kemajuan teknologi pertanian agar kompetensi yang diperoleh peserta didik selama dan sesudah mengikuti program diklat, memiliki daya adaptasi yang tinggi.
3. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan untuk Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian sepenuhnya harus berorientasi mastery learning (belajar tuntas) dengan melibatkan peran aktif-partisipatif para stakeholders pendidikan, termasuk optimalisasi peran Pemerintah Daerah.
Tantangan tersebut harus segera dicari solusi pemecahannya, jika tidak, maka pendidikan di SMK dikhawatirkan akan menimbulkan kesenjangan, dan program diklat menjadi tidak bermanfaat karena output sekolah kejuruan hanya mampu menunjukkan kompetensi artifisialitas, bukan kompetensi adapatif dan produktif yang sesungguhnya.

B. Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian dalam Perspektif Masyarakat Pedesaan
Kenyataan menunjukkan bahwa persoalan inti yang mengemuka dalam manajemen SMK, baik di daerah-daerah maupun di tingkat nasional, terletak pada regulasi pendidikan yang terlalu ketat dan berjenjang. Kenyataan ini pastilah menjadi kontraproduktif jika dikaitkan dengan keberadaan SMK di daerah pedesaan. Jika mengacu pada asumsi pasar, maka ada suatu fenomena yang menarik, tetapi seringkali terabaikan oleh pakar kejuruan bahwa pada umumnya, peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran (aktivitas pendidikan dan pelatihan), sejak lama disadari sebagai manpower resources yang memiliki fungsi ganda yaitu: (1) sebagai peserta didik, dan (2) sebagai anak yang harus membantu orang tua mencari nafkah. Di sekolah ia berperan sebagai peserta didik, namun dalam lingkup rumah tangga (household) ia juga adalah sosok petani yang berkewajiban membantu orang tua mencari nafkah. Karena ia terlibat sangat jauh sebagai tenaga kerja inti dalam rumah tangga, maka hanya sedikit kesempatan yang tersedia bagi mereka untuk melakukan pembaharuan terhadap jenis-jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh industri, baik kompetensi produktif, adaptif maupun komptensi normatif.
Persoalan lain muncul karena daya dukung industri di pedesaan terhadap SMK memiliki keterbatasan, baik dalam aspek kontribusi program, kehandalan, maupun aspek-aspek alokasi investasi untuk membantu pembiayaan pendidikan kejuruan dalam perspektif jangka panjang. Oleh karena itu memerlukan pemikiran serius untuk membangun suatu model SMK yang cocok dengan privalensi kebutuhan lapangan kerja di daerah pedesaan. Dengan potensi wilayah yang berbeda, tingkat alokasi pembiayaan pendidikan yang sangat rendah, serta regulasi ketenagakerjaan yang tidak distandarisir di tingkat nasional dan regional, merupakan suatu kendala yang sangat berarti bagi SMK di daerah pedesaan untuk dapat memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif.
Secara faktual, arah dan strategi pengembangan SMK tidak dapat dipaksakan dengan suatu kebijakan yang seragam seperti yang dilakukan oleh para menteri dan birokrat pendidikan di masa lalu. Heterogenitas kondisi geografis, keanekaragaman potensi sumber daya alam, dan perbedaan-perbedaan karakter sosial budaya masyarakat, harus menjadi bahan-bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu sistem pendidikan kejuruan yang ada di daerah pedesaan masih perlu direformasi, terutama disebabkan oleh perbedaan-perbedaan tersebut.
Kabupaten Mojokerto merupakan daerah yang mayoritas penduduknya sebagai petani, dengan lahan pertanian yang sangat luas, SDM yang ahli dalam teknologi hasil pertanian sangat minim, peluang kerja untuk mengembangkan hasil pertanian sangat besar, dan tenaga kerja yang ahli dalam teknologi hasil pertanian sangat dibutuhkan. Dengan dasar itu, maka sangat tepat apabila di Kabupaten Mojokerto dikembangkan Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian.
Mengacu pada permasalahan tersebut, maka penulis mengembangkan model SMK Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian di SMKN 1 Pungging, yang berorientasi pada pengembangan teknologi pertanian, khususnya bidang agrobisnis dan agroindustri. Landasan rasionalitasnya adalah karena masyarakat di daerah pedesaan adalah masyarakat petani dan mereka membutuhkan kompetensi nyata guna mengangkat harkat dan kualitas hidupnya. Sudah saatnya dibangun SMK yang dapat mengajarkan kepada petani program-program diklat yang lebih fleksibel.
SMK secara moral harus menyadari bahwa kualitas kehidupan petani yang cenderung miskin secara absolut adalah akibat dari kebijakan pemerintah di bidang pertanian yang tidak pernah berpihak kepada petani. Jika SMK gagal mengangkat harkat dan kualitas hidup masyarakat di lingkungannya, berarti proses pembelajaran yang disampaikan kepada peserta didik selama ini hanyalah sekumpulan simbol yang tidak bermakna. Oleh karena itu landasan filosofi SMK harus direformasi dari pohon keilmuan menjadi siap terjun ke masyarakat untuk membuka lapangan kerja yang baru.

V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa SMKN 1 Pungging Mojokerto perlu membuka Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian. Program keahlian tersebut diharapkan sesuai dengan privalensi kebutuhan lapangan kerja, sehingga dapat melahirkan SMK yang memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif.

B. Saran
Dari kesimpulan yang dikemukan di atas penulis menwarkan saran-saran sebagai berikut.
1. SMKN 1 Pungging disarankan untuk membuka program keahlian Teknologi Hasil Pertanian dengan jalan mengikuti langkah-langkah pengembangan yang sudah ditawarkan dalam makalah ini.
2. Dinas Pendidikan dan Dinas Pertanian Kabupaten Mojokerto disarankan mendukung sepenuhnya pengembangan program keahlian Teknologi Hasil Pertanian dengan jalan memberi ijin pembukaan program keahlian dan pemberian bantuan berupa dana sharing dari pemerintah daerah.

Daftar Rujukan
Bulter, F.C. 1979. Instructional Systems Development for Vocational and Technical Training. Englewood Cliffs, N.J.: Educational Technology Publication.
Calhoun, C.C., Finch, A.V. 1982. Vocational Education: Concepts and Operations (2nded.). Belmont, California: Wadworth Publishing Company.
Calhoun, C., Light, D., dan Keller, S. 1997. Sociology (7th ed.). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Finch, C.R., dan Crunkilton, J.R. 1984. Curriculum Development in Vocational and Technical Education: Planning, Content and Implementation. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Hicks, N.L. 1992. Education and Economic Growth. Dalam Psacharopoulos, G. (Ed.), Economics of Education, Research and Studies. Elkins Park, PA: Franklin Book Company, Inc.
Nolker, H., dan Schoenfieldt, E. 1983. Pendidikan Kejuruan: Pengajaran, Kurikulum, dan Perencanaan. Terjemahan Agus Setiadi. Jakarta: PT Gramedia.
Rogers, E.M., Burdge, R.J., Korsching, P.F., dan Donnermeyer, J.F. 1988. Social Change in Rural Societies (3th ed.). Engkelwood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, Inc.
Satuan Tugas Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan di Indonesia. 1997. Keterampilan Menjelang 2020 untuk Era Global. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sonhadji, A. 2000. Alternatif Penyempurnaan Pembaharuan Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Depdiknas.
The World Bank. 1991. Vocational and Technical Education and Training. Washington, D.C.: The World Bank.